Bagian 4

1.4K 83 5
                                    

Kinal P.O.V

Aku membuka mataku perlahan. Ternyata masih terlihat cahaya matahari senja dari jendela kamarku.

Di otakku kembali berputar kilasan kejadian yang hari ini kulalui. Dari ajakan Naomi yang kutolak, bertemu Ryan di ruang tamu dan obrolan singkatku dengan saudari tiriku. Mungkin itu bukan obrolan, hanya sekedar penjelasan singkat atas kedatangan Ryan yang membuatku terkejut. Lalu tanpa perlu berlama-lama mendengar perminta-maafannya, aku masuk ke kamar dan menguncinya rapat-rapat. Merebahkan tubuhku sejenak dan akhirnya malah terlelap beberapa jam. Aku bahkan melupakan niat awalanku mengapa pulang ke rumah cepat.

Tenggorokanku terasa kering. Jadi kuputuskan untuk bangkit dan berjalan menuju dapur. Semoga saja Ryan sudah tidak ada di bawah.

Ku buka pintu kamarku dan keluar dari zona nyamanku. Di rumah ini semenjak pernikahan kedua ayah, hanya kamarkulah yang paling nyaman bagiku.

Saat kututup kembali pintu kamarku, mataku dibuat terkejut oleh tubuh seorang gadis yang duduk tepat di samping pintu kamarku.

Kenapa dia disitu?

Sejak kapan dia disitu?

Aku menatap saudari tiriku yang tertidur disana. Kenapa dia belum ganti seragam?

Bodo, ah! Aku melanjutkan langkahku ke dapur dan menuntaskan rasa hausku.

Di bawah sudah tidak terdengar lagi tanda-tanda keberadaan manusia, maksudku Aaron dan Ryan. Mungkin mereka sedang keluar dan Aaron belum masuk ke kamarnya atau naik ke lantai 2 dan menyadari keberadaan saudari kembarnya yang tertidur di samping pintu kamarku.

Aku kembali naik ke kamarku dan masih melihat Veranda dengan posisi yang sama. Huft! Merepotkan saja.

Sebagian besar di dalam hatiku ingin terus mengabaikannya. Tapi setitik rasa takut muncul di hati kecilku. Bagaimana kalau ayah pulang dan melihat kondisi Veranda sekarang? Bisa kena semprot ayah nanti.

Baiklah. Sekali ini aku akan menegurnya. Walau sebenarnya kemungkinan ayah pulang jam-jam segini itu sangatlah kecil. Tapi aku sedang tidak ingin bergelut dengan hatiku sendiri. Dan aku juga enggan berfikir panjang saat ini.

"Veranda..." bisikku pelan sambil jongkok di sebelahnya.

Dia nampaknya tidak mendengarku. Tangannya masih memeluk lututnya dengan kepala yang bertopang di kedua lututnya.

"Veranda..." suaraku kali ini lebih keras dari sebelumnya, tapi dia belum juga tersadar.

Kusentuh tangannya dengan maksud agar dia segera menyadari keberadaanku disini. "Ve..." belum selesai aku menyebutkan namanya, sentuhan jariku membuatku sedikit terkejut. Tangannya yang kusentuh barusan terasa sangatlah dingin. Mungkin karena AC di lorong ini memang tidak pernah dimatikan.

"Veranda!" aku lebih tekesan membentak kali ini. Tapi dia membuka matanya perlahan. Ini anak susah banget sih, dibanguninnya?

Dia mulai menyadari keberadaanku di sampingnya. Matanya langsung membulat dan dia langsung melepas pelukan pada kakinya. Hey, aku ini manusia! Mengapa dia bertingkah seakan baru saja melihat hantu?

"Udah bangun, kan? Balik ke kamar sana!" Aku rasa kakinya masih bisa berfungsi dengan baik untuk membawanya masuk ke kamar. Jadi aku segera bangun dan melangkah menuju kamarku.

"Nal!" Dia menahan tanganku. Lalu dia berdiri sambil menatapku dengan wajah sendu.

"Em?" Aku menarik tanganku. Aku tidak nyaman dengan sentuhannya. Padahal tadi aku sempat menyentuhnya. Tapi biarlah, itukan karena dia sulit dibangunkan.

You and MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang