Veranda P.O.V
Hembusan angin malam berhasil menyelinap ke dalam jaket yang kukenakan. Ingin rasanya langsung kembali ke dalam tenda atau duduk di dekat api unggun lagi, tapi aku sudah terlanjur janji bertemu Aaron. Dan yang menyebalkannya, adikku itu belum juga datang.
"Si bulan sabit yang berwarna orange ... Bagaikan berpura-pura di pojok langit itu ... Apakah telepon saja tidak bisa ... Padahal aku merindukanmu dan terus menunggu kamu ...." Aku bersenandung pelan untuk mengisi kesunyian.
Srekk ... srekk ... srekk ...
Suara sesuatu yang bergesekan dengan semak-semak membuat aku menoleh ke sumber suara sambil menyorotkan senter ke arah yang sama. Tapi tak ada apapun. Semak-semak itu juga tidak bergerak sama sekali. Mungkin hanya perasaanku saja. Lagian salahku sendiri yang memilih tempat bertemu dengan Aaron di area belakang tenda. Aku memang sedang ingin merasakan ketenangan saat harus bercerita dengan Aaron tentang kejadian antara aku dan Ryan tadi.
"Udah lama nunggunya, Kak?" tanya Aaron dari arah belakang sambil menepuk bahuku dan berhasil membuat aku terkejut. Melihat raut wajahku, dia langsung tertawa. "Kaget, ya?" tanyanya sebelum ikut duduk.
Aku mengembungkan pipiku, menyebalkan kelakuan Aaron ini. Dia berjalan seperti hantu--tak terdengar sama sekali langkah kakinya. "Kemana ajah?"
Aaron menyeringai melihat ekspresi kesalku. "Abis nyanyi di api unggun. Abisnya Kakak ngasih taunya ngedadak, sih. Aku kan gak enak kalau langsung kabur gitu ajah," jawabnya. "Emang Kakak mau ngomongin soal apa?"
Nah, sekarang aku sendiri yang bingung mau cerita dari mana. "Em ... mau soal Gaby dulu atau Ryan dulu?"
"Gaby," jawab Aaron tanpa berpikir dulu.
Aku mengerutkan dahi, bertanya-tanya atas cara menjawab Aaron yang aneh. "Kok, Gaby dulu?" tanyaku dengan tatapan intens.
"Because, ladies first," jawabnya santai.
Aku hanya mengangguk percaya walau di otakku masih menangkap suatu keanehan. "Gaby ternyata dulunya pernah tinggal di Panti Asuhan Mulya--sama kaya Ryan."
"Kamu tau dari mana?"
Aku tersenyum mendengar respon Aaron yang sama persis dengan respon Ryan sebelumnya. "Nabilah yang cerita sama aku. Dia bilang, dulu waktu dia masuk ke panti lima tahun yang lalu, dia kenal sama Gaby. Dulu Gaby pemurung banget. Dia suka menyendiri dan tertutup kaya sekarang. Beda banget sama anak yang aku lihat di album sewaktu dia dan Ryan masih kecil. Dia kayanya bahagia banget, gak kaya sekarang-sekarang."
"Aku juga rasain hal yang sama. Pas selama dia di panti tadi, dia kayanya ngerasa nyaman sama suasana di sekitarnya. Ternyata itu karena dia emang udah lama tinggal di sana sebelumnya." Aaron tersenyum tipis. "Tapi berarti selama ini Ryan kenal sama dia, dong? Ah, sialan tuh anak! Bisa-bisanya dia diem ajah ngeliat Gaby di-bully sama banyak orang."
"Ryan pasti punya alasan. Soalnya Nabilah juga bilang, kalau Ibu Ratih minta semua anak panti buat bersikap biasa saja sama Ryan dan Gaby. Mungkin itu buat nutupin identitas mereka dari anak-anak yang lain. Pasti itu Ryan lakuin buat ngelindungin Gaby."
Aaron mencibirku pelan. "Iya deh, belain ajah terus tuh Ryan. Kaya yang udah jadian ajah," ucapnya sambil memasang wajah ngambek, walau aku tau itu hanya pura-pura.
Kupeluk adikku dari samping dan menyandarkan kepalaku di bahunya. "Ngambek melulu, malu sama umur."
Aaron berusaha melepaskan pelukanku, tapi aku malah semakin mengeratkankannya. "Ini apaan, sih? Malu tau. Nanti kalau ada yang lihat, kita dikira lagi pacaran," keluhnya sambil melihat ke kiri dan kanan takut-takut ada yang memperhatikan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
You and Me
FanfictionCerita tentang kehidupan anak-anak SMA yang sedang mengalami tahap menuju dewasa.