Bagian 14

929 69 20
                                    

Aaron P.O.V

Ulangan selesai!

Seminggu sudah aku berkutat dengan ratusan soal yang hampir membuat kepalaku pusing tujuh keliling.

Kalau kalian pikir aku adalah siswa sepintar kak Ve, kalian salah. Aku lebih suka melakukan ujian praktik daripada ujian teori. Tapi aku juga bukan anak yang pesimis. Jalani saja.

Semenjak kejadian hari senin lalu, Kinal semakin terbuka lagi padaku, kak Ve dan bunda. Bahkan dia sering mengobrol dengan ayah di meja makan. Sungguh ini hal yang sangat aku harapkan dari awal pindah ke rumah baru--dan keluarga baru--ku ini.

Kinal memang tidak begitu suka bawel atau memulai pembicaraan duluan, tapi untung kak Ve selalu berhasil memancingnya bercerita ini dan itu hingga banyak hal yang baru aku ketahui dari sosok Kinal.

Ternyata Kinal suka mengoleksi manga. Dia juga suka sekali Putri Elsa dalam film kartun Frozen. Dia tidak pemilih soal makanan. Dia suka menonton drama-drama dari luar negeri. Dia suka laut. Dia suka olahraga. Dan banyak hal lagi yang baru aku ketahui dari seorang Kinal yang--terlihat dingin namun--ternyata sangat asik diajak ngobrol apapun.

Dan yang paling aku tidak sangka, Kinal tau beberapa hal soal Gaby.

Seorang secuek Kinal nyatanya peduli pada siswi yang sering dibully sesekolah (dibaca : Gaby).

Aku ingat waktu itu Kinal bercerita di kamarnya saat aku berniat meminjam gitar kesayangannya. Sebenarnya aku juga punya gitar sendiri. Tapi gitar yang Kinal miliki adalah gitar yang spesial. Aku masih ingat kalau gitar itu sering ayah gunakan untuk tour luar kota sewaktu masa kejayaannya dulu.

Flashback On

"Nal, sejak kapan lu tau tentang Gaby?" tanyaku sambil memetik senar gitar yang mengalunkan lagu ciptaanku--yang niatnya akan aku bawakan di pesta api unggun nanti. Sebenarnya aku hanya iseng-iseng serius saja dengan pertanyaanku itu. Kalau Kinal tidak ingin menjawabnya pun tidak apa.

Kinal nampak berpikir sejenak sambil terus menatap permainan tanganku di gitarnya. "Sejak setahun yang lalu, mungkin," jawabnya yang aku rasa dia serius menjawab pertanyaanku. "Waktu itu gue gak sengaja makan di restoran yang waktu itu lu ketemu dia juga disana. Dia gak nyadar kalau ada gue, sih. Tapi semenjak itu, gue tau kalau dia kerja paruh waktu di beberapa tempat."

Aku mengerutkan keningku. Aku kira, Gaby hanya bekerja di satu tempat saja. "Dia kurang mampu?" tanyaku yang penasaran.

Kinal menggidikkan bahunya. "Waktu pendaftaran sekolah pertama kali, gue liat ibunya kaya yang bukan dari kalangan kurang mampu. Bahkan selama kelas satu, Gaby sering dianter-jemput pake mobil pribadi," ujar Kinal. "Tapi setelah kelas dua, Gaby seringnya pulang-pergi naik angkutan umum. Mungkin ajah emang keluarganya lagi ada masalah soal keuangan," lanjutnya.

Aku mengangguk mengerti, "terus, kenapa dia suka di-bully?"

Lagi-lagi Kinal menggidikkan bahunya. "Semenjak MOS, banyak kakak kelas yang suka membully-nya. Sampai-sampai sekarang seluruh teman angkatan juga ikut menganggapnya sebagai hiburan mereka."

Ya, mungkin karena contoh dari angkatan-angkatan sebelumnya yang akhirnya kini menjadi hal 'lumrah' untuk menjadikan seseorang yang lemah sebagai korban pembullyan. Sungguh miris aku mendengarnya. Aku memang pernah melihat hal-hal seperti itu.

Dulu sewaktu SMP aku pernah melihat seorang siswa yang sering dipalaki oleh kakak kelas. Tapi beberapa hari kemudian, kakak kelas itu dipanggil BP dan tak terdengar lagi kasus pemalakan seperti itu.

You and MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang