Spesial : Gaby

953 59 15
                                    

Gaby P.O.V

"Gab, udah jam sembilan," ucap chef Retno sambil menunjuk jam yang bergantung di dinding dapur menggunakan dagunya.

Aku meneruskan kegiatanku mengaduk adonan. "Sebentar lagi, Chef! Aku selesaikan dulu adonan roti buat besok. Lagi pula, besok aku libur, kok!" ucapku dengan senyum sopan.

"Tapi status kamu masih pelajar. Shift kamu juga udah selesai dari satu jam yang lalu, loh."

Kumasukkan adonan yang sudah siap untuk didiamkan semalaman ke dalam sebuah wadah. "Iya, Chef! Aku udah selesai," jawabku dengan senyum penuh kepuasan atas pekerjaanku yang selesai hari ini.

Chef Retno tersenyum manis padaku. Ah, andai senyuman seperti itu bisa diberikan juga oleh ayah. Aku boleh berharap bukan?

Kuganti bajuku dan membersihkan wajahku yang terkena tepung saat sibuk membuat adonan tadi.

Saat aku keluar dari ruang ganti, kulihat dapur yang sudah kosong. Pantas saja chef Retno sudah menyuruhku pulang, semua pattisier sudah pulang sejak dua jam yang lalu. Yang tertinggal hanya beberapa pelayan di dalam toko yang tengah melayani pembeli yang masih--cukup--banyak. Satu jam lagi toko juga akan tutup. Aku terlalu suka tempat ini, sampai-sampai waktu bekerjaku saja tidak cukup untuk memuaskan hasratku dalam membuat roti.

"Aku pulang, ya!" seruku pada kak Viny--penjaga kasir berumur sembilan belas tahunan yang tinggi dan cantik--saat melewati meja kasirnya.

"Emang harusnya kamu pulang dari tadi. Chef Retno jadi gak bisa pulang karena nungguin kamu yang sibuk sendiri di dapur," ucapnya dengan nada bergurau.

"Bisa ajah, Kak!" sahutku sambil tersenyum. "Awas pulangnya jangan sendirian!"

"Iya, Gab! Aku pulang sama Rangga, kok! Yang ada juga kamu, udah malem gini, hati-hati!" Ah, iya. Kak Viny pasti aman karena pulang dengan pacarnya yang bekerja di minimarket sebelah.

"Ya udah, aku pulang sekarang ajah, ya! Biar gak makin malem," ucapku yang dibalas anggukan dan senyuman oleh kak Viny sebelum akhirnya aku keluar dari toko.

Kulihat jam tanganku yang sudah menunjuk hampir jam setengah sepuluh. Semoga saja transjakarta masih ada di jam segini. Aku tidak punya cukup banyak uang untuk naik taksi. Angkot juga sudah sangat jarang di jam seperti ini. Terlebih aku juga takut kalau harus naik angkot sendirian di malam hari.

Aku melangkah menuju halte transjakarta yang jaraknya sekitar seratus meter dari toko roti tempatku bekerja. Sambil bersenandung kecil, kunikmati suasana Jakarta saat malam hari.

Suara berisiknya kendaraan yang melintas, lampu-lampu pertokoan yang masih menyala, keramaian orang-orang yang tengah asik dengan aktivitasnya, belum lagi kumpulan para gelandangan yang suka tidur di emperan toko yang sudah tutup. Memang tidak indah hal yang sedang kunikmati ini. Tapi aku merasa bersyukur masih bisa terus hidup di antara ke-tidak-adilan yang ada di dunia. Aku bersyukur masih bisa bertahan.

Tin! Tin!

Sebuah mobil--yang baru saja mengeluarkan suara klason--berhenti tepat di sampingku. Lalu sang pemilik mobil membuka kaca jendela mobilnya. Ah, chef Retno ternyata.

"Mau pulang naik apa, Gab?"

"Naik transjakarta, Chef!" jawabku dengan senyum sopan.

"Saya antarkan saja, gimana? Udah malam juga," tawarnya.

"Gak papa, Chef. Besok aku gak sekolah, kok. Chef juga harus pulang. Arah rumah kita juga berlawanan," tolakku dengan sopan.

"Gak papa! Saya lebih takut kalau kamu kenapa-napa. Ayo, masuk! Nanti semakin malam." Chef Retno memang tidak suka menerima penolakan.

You and MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang