H u r t || P r o l o g

709 29 0
                                    

Fani bilang, aku ini seperti kucing liar. Datang ke suatu rumah, lalu duduk manis di halamannya. Hanya menumpang, tidak berharap diberi makan apalagi diajak ke dalam. Mungkin karena tahu batasan, atau karena takut dikecewakan.

Fani bilang, si pemilik rumah baik hati. Ia tak tega mengusirku. Tapi, ia juga tidak menginginkanku. Makanya, aku tetap berada di halaman.

"Selalu begitu."

"Dan akan selalu begitu," tambah Fani sambil menepuk-nepuk pundakku.

Aku tertawa.

Tapi, oh, Fani, jika kucing liar itu kehujanan, apa yang akan dilakukan si pemilik rumah? Apa ia akan tega membiarkan kucing itu kedinginan, atau ia akan memeluk kucing itu dan membawanya ke dalam rumah?

Aku tersenyum sendiri, sedangkan Fani telah menceritakan hal lain sambil memutar-mutar sedotan pada jus jeruk miliknya.

Selang beberapa menit, tepat saat Fani meminum jus jeruknya, senyumku memudar.

Jika pemilik rumah kedatangan kucing lain, akankah ia mengusir kucing sebelumnya?

Atau ... kucing itu yang akan tahu diri dan pergi ke rumah lain?

"Setia, dong," ujar Fani tiba-tiba. Oh, sebenarnya tidak tiba-tiba, karena sejak tadi ia telah bercerita.

"Setia apanya?" tanyaku.

"Lo gak ngedengerin gue? Ya ampun, gini loh ...."

Fani kembali bercerita, sedangkan pikiranku masih berputar pada kata "setia".

Akankah aku bisa?

...


HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang