H u r t || T u j u h

150 14 0
                                    

Udah siap?

Aku menatap cermin, lalu tersenyum. Gaun biru tua dengan sedikit riasan di wajah dan rambut digerai yang diikalkan di setiap ujungnya, juga kalung pemberian Mikha. Oh, aku merasa lebih dari siap.

Udah

Sekali tarikan napas, jawaban Mikha langsung aku terima.

Gue jemput sekarang, tunggu sepuluh menit

Aku tak menjawab, dan langsung menyimpan ponsel ke dalam tas kecil berwarna senada dengan gaunku.

Aku melirik jam. Sebentar lagi pukul 7 malam, pesta akan segera dimulai. Tapi tak apa, terlambat pun bukan masalah, karena ini pesta Keina, bukan pestaku.

Ah, Keina, ia pasti sudah siap di rumahnya, dengan gaun yang serasi dengan Digma.

Mataku kembali menatap cermin. Senyumku kembali mengembang.

Tidak, ini bukan waktunya memikirkan Digma dan Keina. Mungkin sudah saatnya aku berpaling kepada Mikha. Ya, lelaki itu, lelaki yang baru bertatap muka denganku tadi pagi, mungkin saja ia dikirimkan untuk menjadi pengganti Digma di hidupku.

"Tifaaar ...." panggil Mama dari lantai bawah. "Ada temen kamuuu."

Ya ampun, Mikha sudah datang! Secepat ini? Dia bilang sepuluh menit?

Sekali lagi, aku mengcek riasan. Ah, aku merasa gugup!

"Tifaaar ...."

Dengan buru-buru, aku mengambil tas dan kotak berisi kado yang akan diberikan pada Keina.

"Iya Maaa, sebentar."

Aku keluar kamar, berlari menuju lemari sepatu, mengambil sepatu berwarna silver, lalu berlari lagi menuju pintu.

"Cepet, kasian mereka tuh. Gak mau pada masuk soalnya," ujar Mama saat berpapasan. Aku berhenti berlari.

Mereka?

Sambil menggunakan sepatu yang tadi aku bawa, pikiranku menebak-nebak heran mengapa Mama bilang "mereka". Mungkinkah Mikha mengajak teman-temannya? Atau yang datang adalah geng Digma?

"Ya ampun, temuin dulu temen-temen kamu, baru disepatu!" teriak Mama dari tangga saat melihatku masih duduk di kursi ruang keluarga.

"Iya Ma, udah koook. Aku berangkat yaaa," jawabku ikut berteriak, lalu berjalan ke pintu.

Tampak Gary, Riko, Bima, Dika, Genta, dan Fani yang langsung menyambut kedatanganku.

"Kalian ngapain kesini?"

"Ya mau ngejemput lo, lah!" jawab Dika.

"Mereka ngeyel mulu, padahal gue udah bilang kalo lo bakal berangkat sama Mikha," ujar Fani yang sedang duduk di kursi.

"Yuk, ah, buruan cabut!" ajak Genta.

"Kalian aja, sana. Gue masih nunggu Mikha," tolakku yang belum beranjak dari ambang pintu.

"Loh, jadi lo serius bakal bareng sama si Mikha?" tanya orang-orang di hadapanku bersamaan, kecuali Fani, tentunya.

"Gak percayaan sih, sama gue," cicit Fani sambil memainkan ponselnya.

"Terus Mikha datengnya kapan?" tanya Bima sambil melirik jam tangannya. "Bentar lagi acaranya mulai loh."

"Bentar lagi, kok," jawabku sambil mengambil ponsel dari tas. Sudah sepuluh menit sejak Mikha mengirim pesan. Lagi-lagi, lelaki itu terlambat.

Lima menit berlalu, kami menunggu sambil memainkan ponsel, mengetuk-ngetuk kaki ke lantai, dan mengobrol kecil –tanpa membahas Digma sama sekali.

"Gilaaaaa, siput banget sih tu anak!" gerutu Riko tiba-tiba.

"Kalo emang gak mau nunggu, lo semua duluan aja," suruhku sinis. Geng Digma saling melirik, sedangkan Fani hanya terdiam.

Suasana menjadi hening kembali, sampai lima menit kemudian, sebuah mobil berhenti di depan pagar rumahku. Mikha, aku benar-benar kesal padamu!

"Itu mobil Mikha?" tanya Bima, yang diiyakan beberapa teman gengnya. Suasana menjadi ribut, tapi Mikha tak kunjung datang. Apa ia takkan turun dari mobilnya dan menjemputku sebagai pasangannya?

Aku mendelik kecewa, tapi kemudian suasana menjadi lebih ribut ketika Mikha keluar dari mobilnya dan membuka pagarku. Ia menghampiri kami. Aku menyambutnya dengan wajah datar, sedangkan Fani berdiri menjauhi kursi, lalu geng Digma memasang wajah sebal.

"Lo kalo mau bareng sama Tifar, harus tahu jam. Jangan lama-lama. Untung kita ada disini, jadi dia gak nunggu sendirian," omel Gary pelan, yang dibalas senyum dan anggukan Mikha.

"Udahlah, yuk berangkat," ajakku, masih tanpa ekspresi. Aku terlanjur kesal dengan Mikha.

Aku berjalan melewati Fani, geng Digma, dan Mikha. Mikha menyusul dan berjalan di sampingku, sedangkan yang lain berjalan menuju mobil Dika.

"Maaf," bisik Mikha, tepat di telingaku. Aku hanya diam, tak menjawab. Mikha tampak tak berniat untuk membukakan pintu tersebut untukku, sehingga aku membukanya sendiri dan segera masuk.

Perjalanan kami begitu dingin, hening. Sesekali aku melihat mobil Dika yang mengikuti kami dari kaca spion, dan sesekali juga melihat jalan di depan.

"Maaf." Akhirnya Mikha membuka suara lagi. "Gue terlambat dua kali, di hari yang sama."

Aku melirik Mikha, tanpa berniat menjawab. Namun mataku langsung tertuju pada dasi kupu-kupu yang Mikha kenakan. Aku baru menyadari bahwa dasi Mikha berwarna biru tua, persis seperti gaunku. Ntah kebetulan atau bagaimana, tapi itu sukses membuat suasana hatiku sedikit membaik.

"Gak apa-apa," balasku akhirnya. Mikha tampak lega setelah mendengar suaraku, matanya melirikku sekali, lalu tersenyum tipis seperti biasa. "Tapi lain kali, lo harus inget kalo dari rumah lo ke rumah gue butuh waktu dua puluh menit, bukan sepuluh."

Mikha tertawa kecil.

"Eh, lo gak lupa bawa kado, kan?" tanyaku, berusaha membuat suasana lebih cair.

"Nggak, kok. Tuh, di belakang."

Aku melihat ke jok belakang, dan kembali melihat Mikha dengan tatapan terkejut.

Memang, disana terdapat kotak kado, tapi bukan hanya itu.

"Eh, itu ...." Mikha sepertinya lupa bahwa ia menyembunyikan sesuatu.

Aku tersenyum lebar, kemudian tertawa. Mikha tersenyum malu karena ketahuan.

"Koleksi dasi lo banyak juga, ya."

Aku kembali tertawa, dan Mikha tertawa canggung.

Ya, di jok belakang, terdapat kotak berisi dasi kupu-kupu berbagai warna. Sepertinya Mikha sengaja membawa dasi-dasi tersebut untuk menyamakannya dengan gaunku.

Mikha memang manis sekali.




Berikan bintangmu^^

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang