H u r t || D e l a p a n b e l a s

167 14 0
                                    

Aku membuang muka, tak ingin menanggapi ucapan Digma. Namun lelaki itu terus mengoceh, meluapkan perasaan bahagianya.

"Arsy, akhirnya, akhirnya! Sebelumnya gue gak pernah berani ngedeketin Keina, tapi sekarang-"

"Digma, dia udah punya pacar, jangan berharap banyak," kataku datar, tanpa menoleh kepada Digma.

Lelaki itu menghela napas, lalu membalas dengan nada becanda, "Sebelum janur kuning melengkung kan, doi masih bisa dikejar, Arsy sayaaaaang."

Aku mengerlingkan mata, lalu tiba-tiba, sebuah ide cemerlang muncul di pikiranku. Senyumku mengembang, bersamaan dengan putaran kepala yang menuju wajah Digma.

"Ngomong-ngomong, Mikha juga ngajak gue nonton."

Mata Digma membulat, setitik kilat marah tampak disana, membuatku tersenyum bangga.

"Jangan becanda, Arsy!" Digma menatapku tajam.

"Gue serius, Digma, dan gue ngerasa seneng banget," ujarku yang kemudian mencolek dagu Digma sebelum melanjutkan, "sama kayak yang lo rasain."

"Lo nerima ajakan dia?!"

Aku mengangkat alis, masih dengan senyum sebelumnya. "Apa gue punya alasan buat nolak?"

"Ya! Lo punya!" Digma mendekatkan wajahnya. "Lo gak mikirin perasaan gue, Ar?" Lelaki itu menjauhkan kembali wajahnya, kemudian membuang napas kasar dan berkata, "Ya ampun ...."

Aku mengepalkan tangan. Lo juga gak mikirin perasaan gue, Digma! Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Meskipun lo bilang kalau lo bertahan buat gak nembak Keina demi gue, tapi lo tetep deketin dia tanpa mikirin gue. Itu sama aja bohong!

"Dari awal gue udah bilang buat jauhin cowok itu, tapi lo tetep-"

"Digma, ini bukan hal buruk. Lo harusnya seneng, sekarang gue punya temen deket," godaku yang kemudian terkekeh, dengan tangan yang kembali melemas.

Temen deket? Ish, dasar tukang ngaku-ngaku, umpatku dalam hati, ingin tertawa dengan ulah sendiri.

"Arsy, gue mohon, jangan kayak gini. Batalin janji kalian, dan jauhin Mikha. Lo kan tahu, gue gak suka ngeliat lo sama cowok lain, Arsy."

"Digma, gue tahu, tapi kayaknya lo harus mulai berhenti buat gak suka tentang hal itu." Aku menepuk bahu Digma pelan. "Lo harus mulai terbiasa ngeliat gue sama Mikha," lanjutku yang kembali terkekeh.

Enggak, Digma, jangan berhenti. Kekang gue, larang gue. Tetaplah jadi Digma gue.

"Gak bisa, Arsy." Digma menggenggam kedua tanganku, dan matanya menatapku lekat. "Gue gak bakal biarin siapa pun, cowok mana pun, ngerebut lo dari sisi gue."

Mataku membalas tatapan Digma, tak kalah lekatnya. Terima kasih, Digma, lo masih jadi Digma yang gue kenal.

"Sampai kapan pun, lo tetap milik gue, hanya milik gue."

Aku tersenyum kecil, lalu membalas datar, "Gue milik lo, dan lo milik Kei."

Digma tampak terkejut dengan ucapanku. Genggamannya melemah, tatapannya pun tak selekat tadi. Namun senyumku tetap terukir, setengah menantang lelaki itu.

"Ah sudahlah, lupakan semua ini, Digma." Aku melepaskan tangan lelaki di hadapanku, sambil memalingkan wajah, lelah menatapnya yang tak kunjung membalas perkataanku. "Hari Minggu nanti, gimana kalau kita nontonnya bareng?" usulku yang kemudian menggoda, "Double date."

"Baiklah. Terserah lo aja." Digma melirik jamnya. "Gue pulang dulu, ya." Lelaki itu mengacak-acak rambutku sebelum berdiri dan berteriak, "Mama Arsy, Digma pulang dulu, yaaaa."

Dengan berteriak juga, Mama -yang entah berada di mana- mengiyakan pamit Digma.

Selepas Digma menutup pintu, aku segera berlari ke kamar, mencari ponsel yang -sialnya- aku lupa ditaruh di mana. Diajak nontok sama Mikha? Mimpi! Aku melirik ke seluruh sudut kamar, berharap menemukan benda yang aku cari.

"Bodoh!" umpatku saat melihat ponsel yang sedang dicharge di samping bawah ranjang. Dengan cepat, aku melepas charger-an tersebut, lalu mengotak-atik ponsel, mencari kontak Mikha. Cepat angkat, Mikha, harapku ketika menempelkan ponsel ke telinga kiri, lalu mendengar bunyi sambungan.

"Halo?"

Aku mengembuskan napas lega sebelum menyerbu, "MIKHA!"

"Ada apa, Tifar? Apa sesuatu terjadi?" Lelaki itu terdengar khawatir.

"Hari Minggu nanti, lo mau kan, nonton sama gue?"

Mikha tak kunjung menjawab, entah terkejut, entah terlalu senang, entah sengaja mengulur waktu, entah bingung karena ada acara di hari yang sama. Oh, yang terakhir itu jangan sampai terjadi!

"Mikha?" Aku tak mampu lagi menunggu.

"O-oh." Lelaki itu seolah tersadar. "Maaf, Tifar, tapi ... apa lo serius?"

Aku mendecak sebelum menjawab, "Tentu!"

"Gue bukannya nolak, Tif, tapi hari Minggu nanti ...."

Ternyata yang terakhir itu benar-benar terjadi. Dan, apa katanya? "Bukan nolak", tapi ia baru saja beralasan. Menolak dengan halus, namanya, dan intinya tetap menolak.

"Mikha gue mohon."

"Minggu depan, gimana?" Mikha menawar.

Aku meremas seprai, kesal. "Minggu ini, Mikha," tegasku.

"Tif, gue bener-bener gak-"

"Mikha." Aku memotong, seolah memohon -atau memang sedang memohon. Jangan sampai Mikha menolak. Jangan sampai.

***

Aku memasuki area bioskop bersama Mikha, dengan wajah semringah, sedangkan lelaki di sampingku itu tampak sedikit murung. Mungkin ia masih memikirkan acara tunangan sepupunya yang berlangsung hari ini, dan ia terpaksa absen. Uh, berarti Mikha terpaksa menemaniku.

Dari kejauhan, aku dapat melihat Digma dan Keina yang duduk bersampingan sambil bercengkrama. Aku terkekeh, membuat Mikha bertanya, "Ada apa?"

"Lihatlah, Keina memakai baju berwarna jingga, Digma hitam, gue abu muda, dan lo abu tua. Dia terang sendiri." Aku kembali terkekeh. Oh, ini serius. Digma mengenakan kaos hitam, Mikha memakai kaos abu yang dibalut kemeja abu yang lebih tua, dan aku menggunakan sifon abu muda dengan celana putih, sedangkan baju terusan Keina berwarna jingga yang begitu terang.

Mikha mengernyitkan dahi, membuat kacamata bertangkai hitamnya bergerak sedikit. Kekehanku berubah canggung. Aku baru saja menertawakan seseorang di depan sahabatnya. Mana ada orang yang senang ketika sahabatnya ditertawakan?

"Sorry," ucapku yang mengerlingkan mata, lalu mempercepat langkah. Namun Mikha menahan lenganku. Dahinya masih berkerut.

"Digma dan Kei ada disini?"

Oh, aku lupa mengatakan hal itu kepada Mikha. Aku lupa menceritakan double date yang aku dan Digma rencanakan. Ha, double date.

"Ya, ayo," ajakku, malas menjelaskan apa pun kepada lelaki itu. Aku menarik tangan Mikha untuk menghampiri Digma dan Keina.

Ketika jarak kami dan mereka hanya sekitar satu meter, Digma menoleh dan berdiri. Keina mengikuti yang lelaki itu lakukan, dan ekspresinya terkejut bukan main. Ia menatap Mikha seolah bertanya, "Apa-apaan ini?!", membuatku ingin tertawa.

"Maaf ya, pasti kalian udah nunggu lama," kataku yang tersenyum lebar, terlebih kepada Digma.

Digma mendecak, lalu tanpa berkata apa pun, lelaki itu melepaskan tanganku dari tangan Mikha. "Beli tiket dulu, sana," suruhnya kepadaku.

"Biar gue temenin," ujar Keina yang kemudian berjalan di sampingku.

Sebelum benar-benar pergi, aku melirik ke belakang. Digma dan Mikha sekarang duduk berdampingan. Oh, mungkinkah Digma akan berbicara sesuatu kepada Mikha?

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang