H u r t || T i g a b e l a s

170 14 0
                                    

"Hai, Mikha," panggilku tepat ketika Mikha muncul dari pintu kelasnya dengan buku yang masih di tangan. Beberapa saat yang lalu, aku mengetuk pintu kelas dan berbisik kepada salah satu murid disana untuk memanggil Mikha.

"O-oh?" Mikha tampak terkejut, tapi ia segera mengendalikan diri dan bertanya, "Ada apa, Tif?"

Aku melangkahkan kaki menjauh dari pintu, diikuti oleh Mikha. Lelaki itu sedang melihat ke arah lain seolah tak nyaman ketika aku berbasa-basi, "Gak ada guru?"

"Ya," jawab Mikha cepat, "ada apa?"

"Gak ada apa-apa, sih," jawabku, membuat Mikha mengernyit, "emangnya gak boleh ya nyamperin lo pas gak ada apa-apa?"

"Eh, bukan gitu." Mikha menggaruk rambutnya, lalu melanjutkan, "Tapi aneh aja, gak biasanya."

"Lo pikir kemaren lo ngajakin gue bareng ke pesta Keina tuh gak aneh?" Aku balik bertanya, kemudian terkekeh. "Ngomong-ngomong, maaf ya tadi malem gue pergi gak bilang-bilang."

"Gue ngerti kok, santai aja."

Sekali lagi, aku terkekeh. Tentu saja Mikha mengerti, karena ia yang menyebabkan Digma mengajakku pergi dari pesta itu. Tapi apa tujuan Mikha, ya? Mungkinkah ia cemburu melihat Digma dan Keina?

"Mau ke kantin?" Aku melirik Mikha terkejut, lalu mengiyakan dan berjalan di samping lelaki itu.

Sepanjang jalan, Mikha tak melirikku, apalagi membuka mulut untuk sekadar berbasa-basi denganku. Entah karena ia tak nyaman, entah karena ia memiliki karakter seperti itu. Namun sebagai penyiar radio sekolah, bukankah seharusnya ia lebih banyak bicara?

Langkahku terhenti karena menyadari ada seseorang yang memanggil Mikha, ketika kami berada di koridor kelas IPS. Lelaki yang dipanggil menoleh ke belakang, membuatku melakukan hal serupa. Tampak perempuan yang tingginya sama dengan Mikha, dengan kulit cerah dan bibir merah alami.

Perempuan itu adalah salah satu staf OSIS, cukup terkenal, tapi belum mampu mengalahkan Keina. Namanya Lean, berasal dari sekolah menengah pertama yang sama denganku. Sebenarnya kami tak saling mengenal, tetapi kedekatan Lean dengan Bima sejak kelas sepuluh membuatku tak asing dengan sosok perempuan itu.

"Audisi penyiar sekolah kapan, sih? Aku mau bikin brosurnya."

Aku? Dahiku mengernyit.

"Baru mau bikin?" Mikha menghampiri Lean, meninggalkanku. "Audisinya tiga hari lagi, dan kamu baru mau bikin brosur?" Mikha menyentuh dahi Lean dengan telunjuknya, membuatku terkejut.

Lean tertawa sambil menepis tangan Mikha, lalu ia berkata, "Baiklah, hari Sabtu, ya? Aku pergi dulu." Perempuan itu melambaikan tangan sambil berlalu.

Mikha terkekeh, lalu menghampiriku yang sedari tadi memperhatikannya. "Ayo."

Aku dan Mikha kembali berjalan, dan sepanjang langkah aku memikirkan hubungan Mikha dan Lean. Mereka tampak seperti orang berpacaran, sungguh. Jadi sebenarnya, siapa perempuan yang ada di hati Mikha? Aku yang ia beri kalung, Keina yang mungkin membuat ia cemburu, atau Lean yang beraku-kamu dengannya?

"Lo pacaran sama Lean?" tanyaku tiba-tiba, tak sanggup untuk terus kebingungan.

"A-apa?" Mikha memandangku dengan ekspresi terkejut, lalu ia tertawa geli dan menjawab, "Bukan, lah."

"Lean bicaranya gak aku-akuan, kok." Aku mengangkat sebelah alis.

Kami, aku dan Mikha, terdiam di depan gerbang kantin, membuat beberapa orang yang melewat melirik sekilas, mungkin ingin tahu tetapi malu. Untunglah, suasana kantin agak sepi, karena memang masih jam pelajaran.

"Lo kenal dia?"

"Tahu aja," jawabku sekenanya, "jangan mengalihkan pembicaraan, deh." Mikha tersenyum kecil, seperti biasa. "Apalagi lo sama Lean akrab banget. Jujur aja, dia pacar lo, kan?"

"Apakah penting dia pacar gue atau bukan?"

Penting! Jika Lean adalah pacar Mikha, maka aku tak dapat mendekati Mikha untuk menjalankan misi. Ayolah, mana mungkin aku mendekati seseorang yang telah memiliki kekasih? Aku belum mau mati.

Namun jika Lean benar pacar Mikha, lalu apa artinya semua yang terjadi kemarin? Maksudku, untuk apa Mikha memintaku menjadi pasangannya di pesta Keina? Untuk apa Mikha memberiku kalung, mengantarku sampai pintu rumah, menyamakan dasi dengan gaunku, dan melakukan hal manis lainnya?

Oh, bukan. Aku bukan merasa diberi harapan oleh Mikha -padahal aku memang merasa, walaupun sedikit. Hanya saja, aku heran, apa motif Mikha melakukan hal-hal itu, jika ia adalah pacar Lean. Jika Mikha menyukai Keina, dan mengajakku ke pesta perempuan itu untuk memanas-manasi, aku masih bisa terima. Tapi Lean, bukankah ia tak ada hubungannya dengan semua ini? Bahkan ia tak datang ke pesta Keina, atau mungkin tak diundang.

"Bingung, eh?" Mikha mengangkat sebelah alis, menggodaku.

Aku tersadar, lalu menatap Mikha terkejut. Baiklah, lupakan soal misi, aku tak ingin mengganggu hubungan orang lain demi kejayaan diri sendiri.

"Hei, siapa yang seharusnya menggoda dan digoda?!" Aku memukul pelan lengan Mikha, sambil tertawa. Bersikap akrab dengan Mikha bukanlah masalah, kan? "Lo pacaran sama Lean kan, cieee ...."

"Eh, gue gak bilang apa-apa loh," komentar Mikha yang tetap kalem sambil mengangkat bahu.

"Lean! Lean! Lean!" Aku menepukkan tangan setiap menyebutkan nama Lean.

"Sssst, berisik." Mikha meletakkan telunjuk di depan bibirnya.

"Lean! Lean!" Aku tetap tak mau berhenti, sambil terus tertawa, sama sekali tak peduli pada orang-orang yang melewat.

"Ssst!" Mikha terkekeh sambil menutup mulutku dengan telapak tangannya. Aku tetap tertawa sambil berusaha melepaskan tangan Mikha.

Saat itu, aku benar-benar senang. Untuk kali pertama, aku dapat merasakan kenyamanan dari lelaki selain Digma. Aku lupa tentang orang-orang yang melewat, aku lupa tentang Lean yang kemungkinan adalah pacar Mikha, bahkan aku lupa tentang Digma yang ada di kantin.

Hingga seseorang menarik tanganku dengan kasar, membuat Mikha melepaskan tangannya dari mulutku. Dengan sepenuhnya terkejut, aku menoleh kepada orang yang masih memegang tanganku erat itu. Digma, ia menatap Mikha tajam, seolah berusaha menembus mata lelaki itu.

Pandanganku kemudian beralih ke arah Mikha, yang menatap Digma datar.

"Gue kan udah nyuruh lo ikut ke kantin, kenapa lama banget, sih?!" bentak Digma yang membuatku kembali menoleh ke arahnya.

"Apa sih?!" Aku melempar tangan Digma. "Gak usah heboh gitu, deh."

Digma menatapku tajam, lalu kembali meraih lenganku dan menarikku menjauhi Mikha. Dengan perasaan bersalah, aku menoleh ke arah Mikha dan berkata tanpa suara, "Gue minta maaf."

Mikha mengangguk mengerti, sambil tersenyum kecil, kemudian membalikkan badan dan pergi. Aku segera menarik tanganku dan menyuruh Digma untuk melepaskannya, tetapi lelaki itu benar-benar keras kepala.

Oh, misiku adalah membuat Digma marah karena aku dekat dengan Mikha, kan? Saat ini, misi pertamaku sukses, dan seharusnya aku merasa senang. Tetapi mengapa melihat Mikha seperti tadi, aku benar-benar merasa tak enak?

Aku kembali memutar kepala, melihat ke arah kepergian Mikha, sambil menggigit bibir khawatir.

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang