H u r t 2 || S a t u

65 9 9
                                    

Akhirnya update! Bhahahaa maafkan daku karena lama sekali, ya. Semoga ada yang nunggu. Selamat membaca dan jangan lupa vote+comment. Semoga suka~~

***

Tifarsy tak sekali pun melepas pandangan dari jendela di sampingnya. Perempuan itu terus menatap kegelapan yang dihiasi lampu malam, menahan diri untuk tidak bertanya atau bertutur kata. Tifarsy menunggu Digma membuka mulut terlebih dulu, entah itu bertanya mengenai Mikha, atau menceritakan hal-hal mengenai Keina.

"Hah …."

Digma menghela napas. Sama seperti perempuan di sampingnya, ia juga sedang menunggu untuk ditanya terlebih dahulu. Ia tak tahu harus berkata apa. Ia tak tahu harus bertanya tentang apa. Lebih dari itu, ia sedang kesal setelah melihat Mikha dan Arsynya menghabiskan waktu bersama.

Hingga dering ponsel memecah keheningan, membuat Digma mengeluarkan ponsel dari saku celana, lalu menempelkannya ke telinga.

"Lo udah ketemu sama Tifar?" Seseorang dari seberang bertanya dengan suara beratnya. Gary.

"Hm," jawab Digma singkat.

"Sekarang kalian dimana? Apa di jalan menuju kesini?"

"Hm." Lagi-lagi Digma menjawab malas.

Seolah tahu suasana hati kawannya, Gary segera menutup telepon setelah sedikit berbasa-basi.

Kembali, suasana mendadak hening. Namun Digma tak tahan lagi. Ia ingin meluapkan kekesalannya. Ia ingin berkata banyak kepada perempuan di sampingnya. Lalu, Digma mempercepat laju kendaraan, membuat Tifarsy sedikit ketakutan.

"Jangan terlalu ngebut," pinta Tifarsy akhirnya, membuat Digma mendecak, lalu lelaki itu membelokkan mobilnya ke sebuah restoran. Sejak tadi ia memang belum sempat makan apa pun.

"Turunlah, gue pengen ngomong banyak hal."

Tifarsy menarik napas panjang sebelum akhirnya mengikuti Digma turun dari mobil. Mereka memesan makanan --sebenarnya Digma yang memesan makanan untuk keduanya karena Tifarsy terus terdiam, lalu memilih tempat duduk di lantai atas yang tak beratap, menampilkan langit berkerlip bintang dengan udara dingin yang tak tertahankan.

"Lo mau ngomong apa?" Tifarsy bertanya setelah beberapa menit mereka hanya duduk dan saling diam.

Digma terkekeh sinis, lalu mengeluarkan sekotak rokok dari saku celananya. Setelah mengambil sebatang dan menyalakannya, Digma melempar kotak tersebut ke atas meja.

Setelah mengembuskan asap tebal, Digma bertanya panjang lebar dalam satu tarikan napas, "Kenapa lo ngebatalin ikut acara kita tiba-tiba? Kenapa lo lebih milih jalan sama Mikha berduaan? Kenapa lo mau-maunya diajak ke tempat jauh sama dia? Kenapa lo percaya gitu aja sama orang yang baru lo kenal?"

"Kita kenal Mikha udah lama, kan? Geng lo juga bahkan udah mulai akrab sama dia," potong Tifarsy tak terima.

"Tapi tetep aja, lo jauh lebih dulu kenal gue dan yang lain dibandingkan Mikha. Terus kenapa lo lebih milih ikut dia?"

Tifarsy tersenyum bangga sebelum menjawab, "Karena Mikha dateng ke rumah gue, ngajak gue secara langsung. Juga, Mikha ngajak gue pergi berdua, dan gue yakin dia bakal perhatiin gue, cu-ma gu-e." Tifarsy memberikan penekanan pada ucapannya.

"Cuma lo? Yakin? Terus pas tunangannya dateng, dia masih cuma perhatiin lo gitu?"

Tifarsy menggigit bibir sambil mengalihkan pandangannya. Benar, Lean datang ketika Mikha mencoba mengungkapkan perasaannya. Tifarsy tak terlalu peduli tentang itu. Mikha pernah bilang bahwa ia tak mencintai Lean, dan bukankah Lean pun masih mencintai Bima? Bagi Tifarsy, tadi Lean hanya bermain-main.

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang