H u r t || D u a p u l u h e n a m

179 11 8
                                    

Digma

Aku berlari memasuki rumah Gary yang pintunya terbuka. Dika dan Fani duduk di sofa sambil bergantian melirik ponsel, lalu berbicara dengan dahi berkerut.

"Kenapa Tifar gak jadi ikut? Lo pasti tahu, kan?" tanya Gary yang tiba-tiba muncul di tangga, dengan satu bahunya mengangkat ransel.

Dika dan Fani menoleh, lalu aku menghampiri mereka dan bertanya, "Arsy bilang sesuatu sama lo?"

"Lo juga gak tahu?" Gary kembali bertanya, tetapi aku tetap tak menggubrisnya.

"Gue udah neleponin dia berkali-kali, tapi sibuk terus, atau gak diangkat." Fani menepuk-nepuk lenganku sambil terkekeh, lalu berkata, "Lo khawatir, ya? Dia gak bakal kenapa-napa kok, paling ada acara mendadak. Ngomong-ngomong, kita ngajak Kei aja, gue udah ngeline dia kok."

Aku mendecak, lalu duduk di samping Dika dan mengembuskan napas kasar. Sebenarnya ada apa? Apa ia tidak ikut karena hubungan kami yang renggang akhir-akhir ini? Tidak mungkin. Arsy bukan orang yang dapat dengan mudah membatalkan acara seperti ini, apalagi acara yang telah terencana sejak lama. Apa benar, ia ada acara dadakan sehingga tak bisa ikut? Jika benar, memangnya acara dadakan itu lebih penting daripada acara yang telah kami rencanakan sejak lama?

Uh, entahlah aku ini khawatir atau kesal, atau bahkan keduanya. Entahlah, tapi yang pasti aku ingin segera menemui Arsy. Aku ingin memaksanya ikut, dan aku selalu berhasil memaksanya. Ya, ia pasti ikut --kecuali jika ia sedang sakit. Jika Arsy sakit ... rasanya aku sendiri pun takkan bisa ikut mengunjungi Bima dan Genta.

"Eh, Tifar gak jadi ikut, ya?" Riko baru saja datang dengan koper kecil berwarna hitamnya. Kaos marunnya dibalut jaket hitam yang disingsingkan hingga setengah lengan, dengan celana selutut berwarna sama.

Dika mengiyakan, lalu ia mencandai Riko dengan segala hal. Mereka berbincang berdua, sesekali diselingi oleh tanggapan Fani, lalu mereka tertawa bersama.

"Berangkat sekarang aja, gimana? Kei udah jawab?" Gary bertanya kepada Fani. Ia berdiri, lalu mengambil kunci mobil dari rak hiasan rumah.

"Belum, samperin ke rumahnya aja, yuk," ajak Fani.

"Abis itu ke rumah Arsy, kali aja dia berubah pikiran," tambahku yang diiyakan oleh Gary dan yang lainnya.

Kami pun bergegas dari rumah Gary. Aku bersama Riko, sedangkan Dika dan Fani bersama Gary. Sengaja aku membawa mobil, untuk bersiap pada kemungkinan terburuk: Arsy sedang sakit dan benar-benar tak dapat ikut. Namun, sekalipun dipikirkan dan dipersiapkan, tetap saja aku berharap kemungkinan terburuk itu tidak terjadi.

Setibanya di rumah Keina, Dika dan Fani turun dari mobil, sedangkan aku dan yang lain menunggu di mobil. Sambil kembali mencoba menelepon Arsy, aku melihat-lihat halaman rumah Keina yang tampak dipenuhi tumbuhan hijau dan berbagai macam bunga. Gerbangnya pendek dan jaraknya begitu dekat dengan teras rumah satu tingkat yang memiliki dua jendela di kanan dan kiri pintunya itu.

Fani tampak mencoba menengok rumah Keina, sedangkan Dika mengetuk pintu, setelah sebelumnya beberapa kali mengetuk pintu dan tak mendapat jawaban. Namun wajah Fani tampak terkejut sambil menarik-narik lengan Dika.

"Eh, kenapa Fani histeris gitu?" tanyaku kepada Riko.

Riko mengalihkan pandangannya dari ponsel, menatapku dengan dahi berkerut, lalu melihat arah yang aku lihat. "Samperin aja, yuk," usulnya yang segera turun dari mobil.

Ternyata Gary lebih dulu turun daripada kami, mungkin satu pemikiran. Ia berjalan cepat menghampiri Dika dan Fani, disusul olehku, juga Riko.

"I-itu, Keina!" Fani menunjuk-nunjuk jendela.

Aku segera menengok ke dalam rumah melalui jendela, lalu menemukan Keina menangis dengan keadaan yang begitu buruk --ditemani silet dan foto-foto yang berserakan.

"Keina! Buka pintunya!" Aku dan yang lain mengetuk-ngetuk pintu dengan keras.

"Percuma saja, Keina gak mungkin membukakan pintunya," ujar Gary yang kemudian melanjutkan, "gue bakal mendobrak pintunya."

Fani yang terlihat panik memegang erat ujung baju Dika, sedangkan Riko dan aku bergeser, memberikan Gary ruang. Lelaki itu mundur, berancang-ancang, lalu dengan satu tendangan dari kaki kanannya, pintu yang terkunci tadi terbuka lebar.

"Keina!" Aku segera menghampiri Keina yang berada di ambang pintu ruang tamu menuju ruang lain. Rasa takjub terhadap apa yang dilakukan Gary, hilang seketika.

Keina terisak, lalu menatapku berlahan dengan matanya yang tetap indah --meski sedang menangis. Wajahnya merah, meskipun tak semerah darah yang menetes dari beberapa gores luka di lengannya.

"Apa yang terjadi, Kei? Kenapa lo ngelakuin ini?" tanyaku sambil memegang pergelangan tangan Keina, berusaha melihat luka-luka di lengannya dengan lebih jelas.

Keina masih menangis, hingga beberapa saat kemudian, Gary menghampiri kami dan memungut potongan-potongan kertas foto yang berserakan.

"Ini cowok lo?" tebak Gary sambil melihat sobekan-sobekan itu.

Aku menggigit bibir, lalu bertanya dalam ragu, "Lo ... putus?"

Tangis Keina semakin menjadi-jadi, hingga aku pun tak kuasa untuk tidak mengarahkan tanganku ke rambut dan punggungnya, lalu mendekatkan perempuan itu ke dalam pelukan, merengkuhnya penuh kehangatan. Ia pasti telah dikecewakan. Ia pasti begitu kesakitan.

Aku tidak mengenal kekasih Keina, tapi dia pasti orang yang tak punya akal. Bagaimana tidak, perempuan sebaik dan sesempurna Keina, bukankah tak pantas untuk disakiti hatinya? Sial. Kurang ajar. Hufi--atau siapa pun namanya aku tidak peduli, lo bakal nyesel karena menyia-nyiakan Keina!

Ckrek!

Tiba-tiba suara foto memecahkan keheningan. Aku menengok ke belakang, tanpa melepas pelukan. Tampak Fani sedang menggigit bibir sambil menggeleng-gelengkan kepala. Matanya menatapku dengan tatapan yang tak kumengerti apa artinya, yang pasti, ia segera pergi menjauhi kami menuju teras rumah.

Ia pasti memfotoku dan Keina, lalu melapor kepada Arsy. Ya, Fani pasti akan melakukan hal itu, padahal ia tahu apa yang terjadi.

Namun aku tak peduli.

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang