H u r t || D u a p u l u h t i g a

153 12 2
                                    

Keina

Tifarsy khawatir? Ya ampun, bahkan di pikiranku hanya ada pertanyaan "kenapa mereka berpelukan?", tanpa terselip sedikit pun pertanyaan "ada apa dengan Lean?". Dia ... dia memang baik, pantas saja Mikha dan Digma begitu menyayanginya.

Tangan Mikha yang semula berada di rambut Lean, kini mulai beralih ke lengannya, lalu menjauhkan perempuan itu perlahan.

"Ada apa ...?" tanyanya lirih. Lelaki itu menatap mata Lean yang begitu merah dan basah.

Tifarsy menghampiri mereka, diikuti oleh Digma, lalu yang lainnya. Aku mengikuti perlahan, lalu berhenti dengan masing-masing dari kami mengelilingi Mikha dan Lean.

"Apa ada hal buruk terjadi?" tanya Tifarsy.

Bukan menjawab, Lean malah terisak. Di tengah isakannya, ia menatap kami semua satu-persatu. Sesaat setelah itu, ia menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat.

"Lo semua ngerasa baik-baik aja meskipun mereka pergi?!"

Kami semua saling memandang satu sama lain, tak mengerti ucapan Lean. Mikha kembali bertanya dengan suara begitu pelan, sambil mengelus lengan perempuan itu, berusaha menenangkan.

Karena Lean tak kunjung menjawab, Digma pun angkat suara. "Sebaiknya kita duduk, tunggu sampai Lean tenang. Bertanya kepadanya saat ini takkan membuahkan hasil." Suaranya begitu tenang sekaligus menenangkan, bahkan bulu kudukku berdiri mendengarnya.

Ah, aku baru tahu, ternyata Digma memiliki kemampuan untuk hal seperti itu. Dan, lelaki itu tampak begitu berkharisma. Ia begitu dewasa, begitu pengertian, dan ia tampak seperti malaikat pelindung. Mengagumkan, hingga aku ... untuk beberapa saat ... terpesona.

T-tunggu. Apa yang aku pikirkan?!

Kami kembali ke ruang belajar, dengan posisi masih mengelilingi Lean dan Mikha. Lean tak mau melepaskan lelaki itu, tangannya terus memegang ujung lengan seragam Mikha.

"Jadi ... siapa?" tanya Gary setelah Lean tampak lebih baik. Perempuan itu baru saja mengembalikan gelas kepada Mikha, lalu Mikha memberikannya kepada Tifarsy. Haih, Mikha menang banyak.

"Lo semua beneran gak tahu?" Lean mengerutkan dahi. Wajahnya memerah dan matanya begitu sembap.

"Jangan bilang kalau mereka yang lo maksud ...." Ucapan Riko yang menggantung membuatnya menjadi pusat perhatian. Aku ikut penasaran, terlebih setelah melihat wajah Riko yang serius. Sepanjang aku menjadi teman sekelasnya, ia tak pernah terlihat seserius ini. Bahkan mungkin ia memang tak pernah serius.

"Bima dan Genta?!" lanjut Dika dan Fani bersamaan.

Semua mata di ruang belajar terbelalak, kecuali Lean. Perempuan itu menggigit bibirnya sambil menyandarkan diri pada lengan Mikha.

"Serius?! Memangnya mereka pergi kemana?" tanya Tifarsy.

Sementara itu, aku berusaha mengolah informasi yang baru saja aku dengar. Ini terlalu tiba-tiba, maksudku, mereka tak seharusnya pergi tanpa memberi kabar. Setidaknya mereka seharusnya berkata kepada Digma, Gary, Riko, dan Dika, meski tak berkata kepada teman-teman sekelas.

Tapi ... tunggu. Aku ingat sesuatu! Aku ingat surat pendengar yang aku dan Mikha terima. Surat dari pinang di belah pinggir. Mungkinkah itu surat dari Bima dan Genta? Tidak salah lagi. Pasti begitu. Pasti mereka mencoba memberi kode lewat surat itu.

"Luar kota, pindah rumah dan sekolah. Mereka ninggalin kita, dan Bima ... dia ninggalin gue. Kalau bukan karena gue dateng ke rumahnya sepulang sekolah, pasti dia gak bakal bilang!"

"Lo gak becanda?" selidik Dika.

"Lo gak lagi sekongkol sama mereka buat ngerjain kita?" tambah Riko.

"Ya kali gue bakal nangis kayak gini cuma buat ngerjain kalian?!" Lean kembali terisak, tetapi Mikha menghapus air matanya dan berusaha menenangkan perempuan tersebut, dibantu oleh Tifarsy dan Fani.

Kalau dilihat-lihat, Mikha dan Lean sebenarnya cukup serasi. Apalagi mereka telah dijodohkan. Tapi tidak! Mikha menyukai Tifarsy, dan mereka harus bersama. Lagipula Lean tampaknya begitu menyukai Bima.

"Kayaknya bener, deh. Lo inget gak Mikh, dulu kita dapet surat pendengar dari pinang dibelah pinggir?"

"Ah, itu!" Mikha seolah tersadar. Ia pun melanjutkan, "Kayaknya itu surat dari Bima dan Genta. Isinya seolah nunjukkin kalau mereka bakal pindah, tapi gak bisa bilang sama kalian. Mereka ngerasa kalau lebih baik pergi diam-diam daripada pakai acara perpisahan atau semacamnya."

"Apa untungnya Bima dan Genta pergi diam-diam?!" gerutu Digma. "Hah, aku akan mencoba menelepon mereka!" Digma berdiri, lalu ia mengambil ponsel dari saku celana. Namun beberapa saat setelah ia menempelkan ponsel ke telinga, Digma menggerutu karena nomor yang ia hubungi tak aktif.

Aku tertawa dalam hati. Bukan tak merasa sedih atas kepergian Bima dan Genta, tetapi Digma begitu lucu. Bagaimana tidak, baru beberapa menit yang lalu ia bijak, tetapi saat ini ia kembali seperti semula.

"Sudahlah, mungkin mereka belum ingin dihubungi. Nanti saja kita telepon lagi," usul Gary.

Keadaan pun hening. Digma dan teman-temannya tampak begitu kehilangan si kembar, dan mereka sibuk dengan lamunan masing-masing.

Hingga Fani memecah keheningan dan bertanya, "Tunggu, kok kalian bisa akrab banget? Pacaran? Atau ... sorry, selingkuhan?"

Lalu Mikha terkejut dan memasang raut seolah tertangkap basah mencuri barang orang, sedangkan semua mata bersiap menerkamnya.

Baiklah, Mikha, sepertinya mereka bukan orang yang buruk untuk diberi tahu perihal perjodohan kalian, batinku, sedikit berharap Mikha dapat mendengarnya. Namun tentu saja, ia tak dapat membaca pikiranku.

///

Udah masuk senin! Maafkan daku karena telat update. Semoga ada yang nunggu, hihi. Maafkan juga karena ceritanya pendek banget. Maaf maaf maaf:(

Terima kasih telah membaca, sekali lagi daku minta maaf. Selamat berpuasa bagi yang menjalankan. Salam^^

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang