H u r t 2 || L i m a

61 5 2
                                    

"Ngapain lo kesini?" Mikha bertanya tepat saat Hubert Firgeza keluar dari ruang siaran. Kedua penyiar baru, juga kedua anak baru lain memandang terkejut.

"Loh, ada apa, Kak?" tanya penyiar perempuan, yang sayangnya tak dijawab oleh Mikha.

"JAWAB, SIALAN!"

Satu tinju mendarat di sudut bibir kiri Hufi. Ya, Hufi. Hubert Firgeza adalah Hufi, mantan kekasih Keina yang memutuskan hubungannya dengan perempuan itu begitu saja.

"Kaaak!" Kedua penyiar baru menahan bahu Mikha, mencoba menenangkan, sedangkan anak baru hanya terkejut, tak percaya pada apa yang baru saja mereka saksikan di hari pertama sekolah.

"Sebaiknya lo berdua pergi, dan jangan bilang siapa-siapa soal ini. Anggap kalian enggak pernah lihat ini, ok?" pinta penyiar lelaki yang langsung diiyakan oleh dua anak baru. Mereka berjalan terburu, sambil berusaha bersikap biasa saja.

"Lo datang kesini buat nyakitin Kei, kan?!" Mikha yang berapi-api mengarahkan telunjuknya tanpa ragu ke wajah lelaki di hadapannya.

Hufi hanya tersenyum kecil. Ia tak mau membalas, meski seluruh tubuhnya sudah panas. Ia tak mau membuat citra yang buruk di hari pertamanya di sekolah baru. Lebih dari itu, ia takut dipindahkan lagi karena ketahuan adu jotos dengan sesama siswa, seperti yang sudah-sudah.

"Kak Mikha, tenang …."

"Gue minta kalian berdua pergi. Ini urusan gue sama dia," pinta Mikha pelan sekaligus dalam. Kedua penyiar baru pun mengangguk, lalu mengikuti permintaan Mikha. Dalam hati, mereka merasa terkejut melihat sisi lain Mikha.

Mikha yang lembut, sabar, dan selalu tampak ramah itu ternyata begitu menyeramkan saat marah. Namun, kedua penyiar merasa kagum kepada seniornya itu. Mereka menduga-duga: mungkin Hufi pernah berbuat buruk kepada Keina, lalu Mikha berusaha melindungi sahabatnya. Hal tersebut begitu manis, tetapi mereka hanya memikirkan hal itu tanpa berniat membahasnya dengan siapa pun.

"Apa tujuan lo kesini, hah?" Mikha kembali bertanya. "Dan mana tinju lo? Lo takut karena ini sekolahan?"

Hufi dengan tenangnya berkata, "Apa pun tujuan gue, lo enggak perlu tahu. Tentang tinju," Hufi tertawa sebelum melanjutkan, "ya, gue takut. Bukan cuma sama sekolah, tetapi juga sama lo. Lo puas?"

Pengumuman dari speaker membuat Hufi dapat bernapas lega. Sekarang ia dapat pergi ke lapangan dan bergabung dengan anak-anak baru lainnya sebelum diberi tahu masuk ke kelas mana. Setidaknya ia dapat terlepas dari cengkraman Mikha yang tampaknya merasa bahwa Hufi merencanakan hal buruk untuk Keina. Padahal, Hufi kesini karena ia tak punya pilihan: ia harus pindah ke luar kota demi menjauh dari sekolah lamanya. Dan, entah karena apa, sekolah Keina menjadi satu-satunya sekolah yang dapat ia sebutkan ketika diminta pindah.

Sementara itu, di lapangan, kelas Tifarsy telah baris dengan rapi. Keina baris di depan Fani, sedangkan Fani di depan Tifarsy. Diapit oleh dua orang yang hanya diam seperti mayat hidup seperti itu, Fani terus mengomel, berusaha mengembalikan keceriaan teman-temannya. Namun sayang, ia tak berhasil, bahkan hingga upacara berakhir.

***

"Sudahlah, Arsy, jangan dipikirkan." Digma mengacak-acak rambut perempuan yang ada di sampingnya, berusaha menghibur.

"Ini kayak mimpi. Gue bakal ketemu lagi sama Gege," ujar Tifarsy yang kemudian tersenyum kecut.

"Kalau lo enggak mau, ya enggak usah ketemu."

"Jadi, kalau gue enggak mau ketemu sama dia, gue harus ngehindar dari dunia luar selama setahun ini?" Tifarsy tertawa di akhir katanya. Ia berusaha bersikap biasa saja, tetapi tentu itu tak membuahkan hasil.

"Lagipula kali aja lo lupa wajahnya kayak gimana, jadi lo enggak bakal sadar meskipun papasan sama dia."

Tifarsy kembali tertawa. "Gue masih inget wajah dia dengan sangat jelas. Alisnya, matanya, hidungnya, pipinya, gue masih hapal semua itu." Perempuan itu bersandar di bahu Digma, lalu lelaki itu kembali mengacak-acak rambutnya.

Pikiran Tifarsy yang semula melayang jauh kepada Gege, kembali menyadari betapa beruntungnya ia memiliki Digma. Ia merasa senang, Digma masih berada di sampingnya, meski sempat khawatir Digma akan menjadi milik Keina setelah perempuan itu putus dari kekasihnya.

Oh, ya, Keina …. Tifarsy baru tersadar. Perempuan itu pasti sedang merasa sedih, kesal, atau mungkin keduanya --yang pasti tak mungkin merasa senang. Ia pasti merasa tak enak karena akan satu sekolah dengan mantan kekasihnya. Mantan kekasih yang begitu ia cintai, hingga sempat berpikir untuk tak perlu hidup lagi.

"Menurut lo, Gege masih inget enggak sama wajah lo?" Digma bertanya tanpa melepaskan tangannya dari rambut Tifarsy.

"Harus. Dia harus inget sama gue," balas Tifarsy berapi-api seolah telah lama mendendam, tetapi kemudian ia berkata, "kalaupun dia lupa, gue yang bakal ngingetin."

Digma menganggap ucapan Tifarsy hanya candaan hambar, tetapi sebenarnya Tifarsy serius. Ia ingin Gege tetap ingat kepadanya meskipun lelaki itu mungkin pernah menyukai Keina dan perempuan-perempuan lain. Tifarsy ingin Gege mengingat bahwa mereka adalah cinta pertama masing-masing.

Ah, cinta masa sekolah menengah pertama … apakah bisa disebut cinta? Bukankah orang dewasa akan menganggap hal itu sebagai lelucon belaka?

Tifarsy tersenyum kecil. Betapa bodohnya ia pernah begitu terluka hanya karena kehilangan Gege --cinta pertamanya yang belum pantas untuk disebut cinta. Betapa bodohnya ia pernah begitu hancur karena kehilangan lelaki itu.

Kini, Tifarsy telah memiliki Digma: bukan sebagai kekasih, melainkan sebagai orang yang selalu ada. Tunggu, jika begitu, apa yang dirasakan Tifarsy terhadap Digma selama ini? Apakah itu yang dinamakan cinta, atau sekadar nyaman karena selalu mendapat perhatian?

"Keina, dipanggil Mikha tuh," teriak seseorang dari pintu, membuat Keina harus berjalan malas menjauhi bangkunya.

Mikha. Memori tentang kebersamaan di pantai dan kejutan romantis perlahan muncul di pikiran Tifarsy. Saat-saat Mikha seperti akan mengatakan sesuatu yang lama ia pendam kemudian ikut muncul, hingga kejadian ketika Lean datang dan membuat semuanya menjadi batal, pun ketika Digma datang dengan penuh amarah ….

Tifarsy dapat merasakan dadanya berdebar lebih cepat dari biasa. Ia menggigit bibir, bingung atas apa yang terjadi: apakah ia berdebar karena akan bertemu lagi dengan Gege setelah sekian lama? Apakah ia berdebar karena sedang begitu dekat dengan Digma? Ataukah ia berdebar karena baru saja mendengar nama Mikha?

Perempuan itu menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan bersama kebingungan yang tak sepatutnya ia pikirkan.

Maaf pendek-pendek ya, semoga tetep suka. Btw minggu depan un, mohon doanya;"D

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang