H u r t || E n a m

162 18 0
                                    

"Tif, lo nanti berangkat bareng gengnya Digma, kan? Gue nebeng dong," serempet Fani dari seberang sana, sesaat setelah aku mengangkat telponnya.

"Gue sama orang lain. Lo langsung bilang aja ke mereka."

"Loh, kok? Emangnya lo sama siapa? Tadi gue sempet denger kalo Digma ...."

Aku memutuskan sambungan.

Digma. Digma. Digma.

Selalu begitu.

Ponselku kembali bergetar. Nama Fani terpampang disana.

"Ish!"

Aku melempar ponsel ke kasul. Oh, tak mungkin aku mengangkat telpon dari orang yang baru saja aku putus telponnya. Itu sama saja menelan ludah sendiri, kan?

Tunggu.

Arsy, sejak kapan lo jadi gini?!

Aku menghempaskan diri ke kasur, tepat di samping ponsel yang ternyata sudah berhenti bergetar.

Tenang, Arsy. Tenang.

Mataku terpejam, lalu hidungku menarik napas panjang.

"Lo ngerasa terkekang?"

"Lo boleh pergi sama Mikha. Itu hak lo."

Perkataan Digma terngiang di telingaku. Bahkan raut wajahnya yang datar ketika berucap seperti itu masih menempel di ingatanku.

Sialan, Digma. Bukan itu yang aku mau!

Habislah. Digma memang pernah marah karena aku pergi bersama lelaki lain, tapi ia tak pernah marah hingga membolehkanku melakukan hal itu. Atau Digma memang tak marah? Atau Digma memang ingin melepaskanku?

Jangan, Digma. Egoislah. Aku lebih merasa dibutuhkan jika kamu begitu.

Silakan kekang aku. Kamu tahu? Bukan bebas yang aku ingin, tapi kamu.

Ah. Digma. Aku menyesal. Padahal kamu yang keterlaluan, bukan aku.

Sekali lagi, ponselku bergetar. Namun nama Fani tak muncul di layar. Hanya ada tulisan: Line. Pesan baru diterima.

Aku segera membukanya. Mikha!

Gue mau beli kado. Boleh minta anter?

Ntah darimana Mikha tahu kontak lineku, tapi terserahlah. Itu bukan sesuatu yang harus kupikirkan. Dan, oh, kami baru bicara tadi siang, dan tak ada basa basi untuk memulai percakapan di line? Ya ampun, dia unik sekai.

Aku segera menambahkan Mikha ke kontak, lalu menjawab pesannya.

Yuk.

Sengaja aku menjawab menggunakan titik. Agar terkesan kaku, karena Mikha pun bersikap begitu.

10 menit lagi gue nyampe di rumah lo

Singkat sekali!

Tapi terserahlah. Aku tak peduli. Untuk apa aku sebal? Mungkin dia memang orangnya begitu, atau dia masih canggung denganku, atau dia malu-malu, atau ... ah, terserahlah. Kenapa aku berpikiran seperti orang yang sedang sebal?!

Aku segera beranjak dari tempat tidur, ke kamar mandi untuk cuci muka, membuka lemari untuk memilih pakaian, lalu bercermin dan merapikan rambut.

Tunggu. Memangnya Mikha tahu rumahku?

***

Bohong, Mikha tidak datang setelah sepuluh menit, tapi dua puluh menit. Ia datang mengenakan kaos berwarna hitam dengan tulisan berwarna abu tua, celana pendek berwarna senada dengan tulisan di kaosnya, lalu sandal hitam yang tampak kontras dengan kulit putihnya.

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang