H u r t || S e p u l u h

182 15 0
                                    

Digma

"Dasar kekanak-kanakan," cicit Arsy, sesaat setelah aku menerima botol air mineral dari tangannya. "Lo gak seharusnya bersikap kayak gitu."

Aku tak menanggapi, dan langsung menenggak air tadi sampai habis. Baru saja aku akan melempar botol bekas tersebut, Arsy langsung merebutnya, melarangku membuang sampah sembarangan.

"Dia pasti bingung karena lo tiba-tiba pergi, sekaligus tiba-tiba marah."

"Gue gak marah," elakku cepat, "gue cuma ... ya ...." Aku menggaruk leher, sambil menyender ke dinding.

"Tapi sikap lo ke dia berubah, dan bikin dia gak nyaman. Bahkan gue juga ikut gak nyaman."

Aku terdiam, sedangkan Arsy menatapku dalam, seperti mencoba menangkap sesuatu dari mataku, membuatku tak nyaman dan mendorong pipinya.

"Yuk, ke kelas."

Arsy pun mengikuti langkahku, tanpa suara hingga di belokan terakhir menuju kelas, ia bertanya, "Apa lo mau mencoba lupain Keina?"

Hening. Aku tak bergerak, mungkin Arsy juga, bahkan rasanya cicak di dinding dan kupu-kupu yang sedang beterbangan ikut terdiam.

Aku menelan ludah, sebelum berkata, "kayaknya udah ada guru, deh," lalu berjalan dengan cepat.

Arsy mengikuti, tapi tak menghampiri. Ia juga tak bertanya lagi, seolah mengerti bahwa aku tak ingin ditanya seperti itu. Ya, Arsy memang selalu mengerti.

Tiba di kelas, aku dan Arsy disambut meriah oleh teman-teman, bahkan guru pun ikut menyambut sambil berdiri dan menghampiri kami.

Aku melirik Arsy bingung, sedangkan yang dilirik menatap kaget kepada Bu Rasti yang semakin mendekat.

"Penyebab kehebohan kalian kan sudah datang, jadi sebaiknya kalian semua diam. Dan kamu berdua, silakan berdiri disini sampai pelajaran saya berakhir."

Suasana mendadak hening. Diam-diam Bu Rasti marah, padahal wajahnya tetap tersenyum. Walaupun senyumnya ... menyeramkan.

"JANGAN, BU!" teriak Riko membuat semua mata tertuju padanya. "Mereka kan telat gara-gara ke toilet. Kali Ibu ngehukum mereka gara-gara hal itu, berarti sama aja Ibu ngelarang mereka ke toilet," ujar Riko dengan nada manja.

Tindakannya yang berani bukan membuatku kagum, malah membuatku ingin tertawa. Terlebih setelah Bu Rasti memberi usul, "Daripada protes, bagaimana jika kamu ikut berdiri di depan?"

Suasana kembali hening, mengiringi langkah Riko yang sangat pelan, dengan raut wajah murung. Dia mungkin kecewa karena dinyatakan gagal menjadi pahlawan.

Namun, tepat ketika Riko sampai di sampingku, Gary berdiri dan berjalan menghampiri kami. Kemudian disusul oleh Bima, Dika, Genta, dan yang terakhir, Fani.

Tunggu. Ternyata Fani tidak menjadi yang terakhir. Keina berjalan di belakangnya, dengan senyum yang begitu menenangkan.

"Keina belain kita, Bro." Aku mendengar Genta berbisik takjub, disusul bisikan-bisikan lainnya.

"Kei, lo gak salah?"

"Yah, Keina ngapain ikut ke depan."

"Kalo dia kesana, gue juga ikut deh."

"Gue juga, ah."

"Gue juga."

Lalu semua kursi di kelas kosong, karena murid-muridnya berdiri di depan kelas. Berkat pesona Keina. Ya, berkat dia, yang banyak fansnya. Cowok, terutama.

Namun tidak semua murid bermotif sama. Sebagian dari mereka ikut ke depan hanya untuk menghindari keminoritasan diri.

Bu Rasti bertepuk tangan sambil menggelengkan kepala.

"Jadi, kalian semua ngebela Digma dan Tifarsy? Bukankah tadi beberapa dari kalian menjelek-jelekkan mereka?"

Teman-teman yang bukan geng saling pandang, hingga ada salah satu dari mereka berceletuk, "Gue sih belain Keina."

"Jadi lo belain Keina?" tanya Bu Rasti sambil mendekati orang tadi, dengan mata membulat. Yang didekati malah cengengesan, dan yang lain hanya tertawa.

"Maksudnya saya, Bu."

Bu Rasti mengambil seperangkat bukunya, dan memasukkan buku-buku tersebut ke dalam tas.

"Kalau begini caranya, lebih baik Ibu masuk minggu depan saja."

Lalu Bu Rasti pergi meninggalkan kelas, dengan langkah perlahan, mungkin minta dikejar.

Namun, bukan maaf yang terdengar ketika Bu Rasti sampai di ambang pintu, tapi sorak sorai dari beberapa teman. Aku dapat melihat Bu Rasti menggelengkan kepala sekali lagi, sebelum memutuskan untuk benar-benar pergi.

***

Jadi, ketika aku dan Arsy tak berada di kelas, terjadi keributan antara dua kubu. Kubu pertama, gengku dan Fani. Oh, atau dia memang sudah masuk gengku, bersama dengan Arsy? Namun aku yakin Dika akan menolak jika geng kami kedatangan anggota perempuan.

Ah, bicara apa aku ini?!

Lalu kubu kedua, geng laki-laki 'sebelah sana'. Sebelah mana? Sebelah sana, pokoknya. Sisanya netral, antiblok, antikubu, bahkan beberapa antisosial.

Kubu pertama membelaku dan Arsy, berusaha memberikan alasan-alasan rasional tentang keterlambatan kami memasuki kelas. Sedangkan kubu kedua, memberi komentar-komentar pedas yang berkesan memojokkan kami serta kubu pertama.

"Tapi seenggaknya rencana kita berhasil ya, guys," teriak seseorang tiba-tiba, nampaknya dari kubu kedua.

"Rencana apa?" tanya Fani yang sedang berada diantara anggota kubu pertama lainnya.

"Rencana bikin bubur beras pergi," jawab seseorang yang lain. Oh, jadi, tanpa mengurangi rasa hormat, Bu Rasti baru saja mendapat julukan baru.

"Jadi yang tadi kalian ceritain cuma sandiwara?" tanya Arsy yang berada di samping kananku, setengah berbisik kepada kubu pertama.

Ralat. Bukan lagi kubu pertama. Pertarungan telah usai, masa julukan pun selesai. Kubu pertama, kembali menjadi teman-teman satu geng, ditambah Fani.

"Gue sih sandiwara atau gak sandiwara juga gak peduli," komentar Riko yang membuat geng kami tertawa.

"Padahal tadi gue kaget beneran, hih!" seru Arsy sambil mencubit lengan atasku, mungkin geregetan. Aku hanya terkekeh sambil mengacak rambutnya.

"Gue juga nyangka beneran," tambah perempuan lain tiba-tiba, sambil duduk di kursi samping kiriku. Keina, perempuan itu, tersenyum ceria, tanpa keraguan atau kecanggungan seperti saat menghampiri kami ketika jam istirahat tadi.

"Pantesan tadi lo ikut ke depan." Seseorang berujar dari depan kelas, dekat meja guru. Mungkin sedang mencharge ponsel.

"Dan bikin semuanya ikut ke depan."

"Sekaligus bikin bubur beras terhempas."

Lalu semuanya tertawa, termasuk Keina. Ia tertawa, tanpa canggung, dengan mata setengah terpejam, dan begitu memesona.

Ya, seperti biasa, seperti sebelumnya, di mataku, ia bercahaya.

"Apa lo mau mencoba lupain Keina?"

Oh, mana mungkin aku bisa.

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang