H u r t || D u a p u l u h e m p a t

158 10 4
                                    

Tifarsy

"Gue sama Mikha?" Lean bertanya dengan mata sembap yang menusuk tepat ke mata Fani. "Jodoh," lanjutnya yang menarik napas panjang, lalu menghapus air mata.

"Dijodohkan," ralat Mikha cepat, seolah tak terima dengan ucapan Lean. Dahinya berkerut sedikit, lalu ia melirik semua orang satu-persatu karena tak ada yang kunjung merespon.

"Oh ya?" Akhirnya Dika buka suara. Mulutnya terbuka lebar, lalu tertawa hambar dengan raut bingung. "Waw."

Tiba-tiba sebuah tangan merangkulku ringan, lembut, juga hangat. Aku menggigit bibir, rasanya senang sekaligus … aneh. Mungkinkah Digma mencemaskanku lagi?

"Kalian dijodohkan, tapi lo pacaran sama Bima?" Riko melipat tangan.

"Dan lo, masih berani deketin Tifar?" timpal Dika.

"Karena gue sukanya sama Bima."

"Dan gue suka sama …." Mikha segera menutup mulut, menghentikan perkataannya. Tatapan canggungnya terarah kepadaku.

Perlahan, tawa-tawa sinis mulai bermunculan, sedangkan aku hanya tersenyum kecil, malu-malu. Mikha beneran suka sama gue?

Namun senyumku menghilang ketika Digma mengeratkan rangkulannya. "Kenapa?" bisikku sambil menoleh ke arah lelaki itu, tetapi ia tak kunjung menjawab, dan masih menatap lurus ke arah Mikha.

"Terus, perjodohan kalian gimana?"

Lean tertawa kecil. "Yang gue sama Mikha jalani sampai hari ini cuma tentang menikmati masa muda," terangnya dengan suara bergetar, "ke depannya, tidak ada yang tahu akan seperti apa."

"Jadi sekarang lo pacaran sama Bima, dengan niat bakal ninggalin dia suatu ha-"

"Siapa yang ninggalin siapa?" potong Lean dengan nada tinggi. "Kenyataannya, Bima mutusin gue sebelum dia pergi," lanjutnya sambil membuang muka.

Suasana pun hening, canggung, hingga Gary berkata, "Dia pasti mutusin lo karena merasa itu yang terbaik buat kalian."

"Bima mungkin gak mau bersikap egois sama lo, dia gak mau bikin lo kangen, khawatir, atau kepikiran terus," tambah Keina.

"Emangnya setelah kami putus, gue gak bakal kangen, khawatir, atau kepikiran dia terus?"

"Bukan cuma tentang itu, Lean. Hubungan jarak jauh bukanlah hal yang sederhana."

Embusan napas kasar terdengar dari beberapa jiwa di sekitar, sedangkan aku hanya menggigit bibir. Digma, entah sejak kapan, melepaskan rangkulannya dari bahuku. Cinta mengalahkan segalanya, begitu? Tidak bisa. Aku sahabatnya, dan ia seharusnya lebih mengkhawatirkanku daripada Keina.

Seharusnya begitu.

Namun emosi tertahan dari ucapan dan tatapan mata Keina memang bisa membuat siapa pun terbawa suasana. Jadi, kekasih Keina berasal dari luar kota, dan perempuan itu baru saja menyatakan bahwa ia lelah dengan hubungan jarak jauhnya?

Waw, selamat Digma. Lampu hijau dari perempuan yang kamu cintai. Bagus sekali, bagimu. Tetapi, meski kamu adalah segalanya, tetap saja yang bagus bagimu belum tentu bagus bagiku. Ah, mengapa aku merasa sakit ….

"Sudahlah, tak perlu membicarakan ini." Mikha melerai, kemudian ia mengalihkan pembicaraan dengan memberi usul, "Coba sekarang kalian telepon lagi Bima dan Genta, mungkin ponsel mereka sudah diaktifkan."

"Nah, gue setuju." Gary membuka ponselnya, lalu menelepon -entah ke nomor Bima, entah ke nomor Genta. "Aktif!" Gary pun menyentuh tanda speaker di ponselnya.

Di sela menunggu telepon diangkat, Fani bertanya, "Terus kalian gimana? Kan Lean udah putus, jadi, ya, kalian masih mau 'menikmati masa muda', atau mulai deket-deketan?"

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang