H u r t || D u a p u l u h s a t u

174 11 0
                                    

Mikha

Sial. Hufi selalu punya cara untuk membuat Keina menangis tak berdaya. Dan, ia selalu punya cara untuk membuatku diusir oleh perempuan itu. Oh, perempuan malang yang dipuja-puji oleh seluruh murid seantero sekolah, malah disakiti sekaligus mencintai lelaki biadab tak tahu malu itu.

Baiklah, sebenarnya Hufi tak sekurang ajar itu untuk disebut biadab. Ia hanya cemburu, tetapi berlebihan dan tak tepat waktu. Namun apa gunanya pasangan yang begitu posesif? Aku pikir, dia hanya mampu mengganggu, uh.

"E-eh." Pikiranku buyar ketika melihat sebuah mobil yang terparkir di depan rumah. Seseorang bersandar di depan mobil t, dengan rokok yang tercapit pada telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. Ia langsung berdiri ketika menyadari mobilku yang semakin mendekat.

"Baru sampai, eh? Rumah Keina sebegitu jauhnya?"

Aku mendekati lelaki yang baru saja bertanya dengan nada menyindir. Ia tersenyum sinis, sedangkan aku hanya menunjukkan wajah datar. Jangan terpancing, Mikha, tetaplah bertahan ....

"Kenapa lo kesini?"

Aku tahu, Digma pasti kesini untuk menghajarku. Minimal mimisan. Dia benar-benar akan melakukannya, aku tahu.

"Santai, bisa?" Digma merogoh saku celananya, lalu melemparkan benda yang ia ambil.

Aku menangkap benda tersebut. Kotak rokok. Setengah hati, aku menelan ludah dan mengembalikannya.

Digma terkekeh sambil menerima kotak yang aku kembalikan, lalu menyesap rokoknya perlahan, dan meniupkan asapnya tepat di depan wajahku.

"Gak ngerokok?"

"Enggak." Enggak di depan orang lain.

"Bagus," komentarnya yang langsung menjatuhkan puntung rokok, lalu menginjaknya perlahan, penuh penghayatan. "Kalo gue ngelakuin ini di depan Arsy, pasti dia marah sambil ngambilin rokok itu dari aspal, terus nyari tempat sampah buat ngebuangnya."

Aku menarik napas panjang, lalu menimpali, "Gue pikir dia bakalan ngambil rokok itu dari mulut lo, bukan dari aspal. Bukannya semua cewek gak suka sama cowo yang-"

"Gak semua," potong Digma yang kemudian terkekeh. "Lo pikir Arsy itu sama kayak cewek pada umumnya? Dia itu istimewa. Is-ti-me-wa."

"Jadi, kalau Keina melakukan itu, berarti dia gak istimewa?" Aku benar-benar kesal. "Langsung aja, ada apa?"

Lalu Digma dengan begitu cepat melayangkan tinju ke arahku. Namun sebelum jari-jarinya menyentuh hidungku, kepalan tangannya berhenti, membuatku mengalihkan pandangan kepada mata Digma sambil memundurkan diri.

"K-kenapa?"

Digma tertawa sambil menarik tangan. "Kenapa? Lo bertanya sama gue "kenapa"?" Lelaki -kurang waras, uh- itu kembali tertawa.

"Sebutin masalah lo, jangan banyak basa-basi." Aku mulai geram, tetapi masih berusaha menahan nada dan ekspresi.

"Baiklah, baiklah. Gue cuma mau lo sadar atas apa yang lo lakuin," ujar Digma dengan alis sebelah terangkat.

Tifarsy, kenapa sahabat lo sebegitu angkuhnya?!

"Lo hampir bikin Arsy kecewa. Hampir." Aku hanya terdiam, mempersilakan Digma melanjutkan perkataannya. "Sama kaya tinjuan gue." Namun ia malah melanjutkan dengan candaan tak bermutu.

"Hampir? Syukurlah, gue pikir dia-"

"Marah sama lo? Merasa kehilangan lo? Kepikiran lo? Galau gara-gara lo? Nangis dan ngarepin lo kembali?" Lagi-lagi lelaki itu memotong. Menyebalkan. "Jangan terlalu percaya diri, Mikha. Arsy itu milik gue, hatinya cuma milik gue. Bukankah seseorang hanya bisa dikecewakan oleh orang yang memiliki hatinya?"

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang