H u r t 2 || E n a m

55 4 3
                                    

Hai, ketemu lagi!
Maaf ya lama banget updatenya.
Selamat membaca, semoga suka.
Jangan lupa vote dan komentar.
Oh ya, selamat menunaikan ibadah puasa bagi para pembaca yang menjalankan^^

Mikha dan Keina berhadapan di tengah koridor. Mereka saling diam, juga tak bertatapan, hingga akhirnya Keina berkata, "Lo udah ketemu Hufi?"

Mikha menggumam mengiyakan, lalu membalikkan badan dan menambahkan, "Bahkan dia sekelas sama gue. Sialan!"

"Jangan marah sama dia," pinta Keina sambil mengusap bahu Mikha. "Siapa tahu Hufi pindah ke sini karena mau minta maaf sama gue." Setelah semua yang terjadi, perempuan itu ternyata masih mengharapkan hufi.

"Minta maaf sama lo, kemudian nyakitin lo lagi." Mikha tersenyum kecut. "Jangan bodoh, Kei. Gue minta, lo berhenti berharap sama orang kayak dia." Mikha menarik tangan kiri Keina yang ada di bahunya, lalu memperlihatkan bekas luka yang masih begitu jelas terlihat. "Dan, dengan melakukan hal seperti ini, lo pikir dia bakal peduli?"

Keina menarik tangannya, lalu berkata pelan, "Hufi pasti marah kalau tahu tentang ini, dan dia marah karena dia khawatir sama gue."

"Berhenti menyebutkan nama dia!" bentak Mikha. Matanya menatap Keina tajam. "Masih ada banyak orang yang sayang sama lo, yang suka sama lo, tetapi kenapa harus dia yang lo harapkan, Kei?"

Keina menggigit bibir, lalu perlahan mulai terisak. Di satu sisi, ia merasa perkataan Mikha benar. Tak seharusnya ia mengharapkan orang sekasar Hufi, tak seharusnya ia begitu mencintai lelaki itu. Namun, di sisi lain, Keina merasa tak mampu jauh dari Hufi. Ia tak mampu melepaskan Hufi.

Ini kali pertama Keina merasa begitu terpukul setelah kehilangan seseorang yang ia suka, dan itu berarti, kali ini ia benar-benar jatuh cinta. Jatuh cinta yang pertama, bukan kasmaran biasa. Bukankah luka adalah tolok ukur cinta? Semakin seseorang terluka, bukankah petanda bahwa ia semakin mencinta?

Mikha menarik Keina ke dalam pelukannya. Ia benar-benar cemas dan tak ingin Keina terluka lagi. Mikha tak ingin Keina jatuh ke lubang yang sama, dan ia ingin membuat Keina melupakan Hufi untuk selamanya.

"Sudahlah, jangan menangis." Mikha mengusap rambut Keina yang masih ada di dekapannya. "Gue minta maaf, enggak seharusnya gue membentak lo."

Di dalam kelas, Tifarsy terus mengetuk-ngetukkan sepatunya. Ia penasaran dengan apa yang dilakukan dan dibicarakan oleh Mikha dan Keina. Di samping itu, ia juga ingin melihat wajah Mikha. Sudah lama mereka tak berjumpa, dan jauh di dalam hatinya, Tifarsy merindukan Mikha.

"Nyanyi-nyanyi, yuk!" Ajak Digma yang kemudian berdiri, bersiap mengambil gitar.

"Yuk, lo duluan sana," Tifarsy memutar otak, berusaha mencari alasan agar dapat ke luar kelas walau sebentar saja, kemudian melirik kolong meja dan berkata, "gue mau buang sampah dulu." Akhirnya Tifarsy menemukan alasan yang tepat.

Setelah mengambil sampah (hanya tiga bungkus permen loli rasa susu stroberi, cokelat, dan melon), Tifarsy ke luar kelas, lalu dikejutkan dengan pemandangan yang ada di hadapannya. Mikha, lelaki itu, masih memeluk Keina.

Untuk beberapa saat, Tifarsy dan Mikha saling pandang, sedangkan Keina tak menyadari kehadiran perempuan itu. Sebagian dari diri Mikha ingin melepaskan pelukannya terhadap Keina, lalu menghampiri Tifarsy sekadar untuk bertanya mengenai kabarnya. Namun sebagian dari dirinya yang lain sadar bahwa ini bukan saat yang tepat. Keina membutuhkannya sebagai sandaran, dan daripada Tifarsy sekalipun, ia harus lebih mementingkan Keina, sahabatnya.

Tifarsy membuang muka, lalu membuang bungkus permen yang ia bawa ke tempat sampah, dan segera masuk ke dalam kelas. Ia merasa sedikit sakit, tetapi juga merasa wajar. Mungkin Kei merasa sedih atas Hufi, dan Mikha sedang menghiburnya, pikir Tifarsy berusaha menghilangkan rasa tak enak hatinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 11, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang