H u r t || D e l a p a n

155 19 5
                                    

Ntah kebetulan atau Keina memang menunggu kami, pesta dimulai dua menit setelah kami sampai.

Setelah basa-basi dari MC, Keina pun dipersilakan meniup lilin. Digma ada di sampingnya, dengan jas yang serasi dengan gaun Keina, berwarna marun. Bukan hanya pakaian yang serasi, tapi dari segalanya, mereka memang serasi.

Digma pasti bahagia, aku yakin.

Aku membuang wajah ketika Keina meminta Digma menemaninya meniup lilin.

Manja, tiup lilin sendiri aja gak mau, ejekku dalam hati, yang sebenarnya hanya ungkapan iri.

Semua orang bersorak ketika Digma menyanggupi, termasuk Mikha yang diam-diam aku perhatikan dari samping. Ah, sudah ada Mikha, kenapa aku masih memikirkan Digma?

"Jealous ya?" tanya Gary tiba-tiba, tepat di telingaku, dengan suara yang sangat pelan. Ntah maksudnya mengejek atau apa.

"Apa sih, biasa aja," jawabku datar, lalu segera kembali menolehkan perhatian pada kedua pasangan yang sedang dikerubungi massa. Putri dan pangeran. Pemeran utama. Pemenang di sebuah cerita cinta.

"Ada apa?" tanya Mikha, yang mungkin mendengar perkataanku.

"Nggak," aku menghela napas, "bukan apa-apa."

Kemudian pesta berlanjut, dengan berbagai gurauan di sela-sela acara, termasuk gurauan tentang hubungan Keina dan Digma.

Terlalu kekanakan jika menutup telinga, pun terlalu menyakitkan jika mendengar semua.

Akhirnya aku memutuskan untuk menghindar, pergi ke toilet, karena tak ada tempat lain yang bisa dijadikan persembunyian.

Di hadapan cermin, aku memperhatikan wajah dan penampilanku. Memang, Keina lebih cantik. Lebih ramah pula, lebih baik, lebih terkenal, banyak teman, pintar, sempurna. Tapi bukan berarti ia bisa seenaknya. Maksudku, ini terlalu tiba-tiba. Bukankah Keina tak pernah membalas perasaan Digma? Lalu kenapa hari ini ia berlaku sangat manis kepada lelaki itu?

Ah, ralat. Keina memang selalu berlaku manis, kepada siapa pun.

Tapi maksudku, kenapa Keina sampai menjadikan Digma menjadi pasangannya di pesta ini? Digma pasti merasa dapat harapan. Atau memang Keina bermaksud memberikan harapan untuk Digma? Mungkinkah Keina mulai menyukai Digma?

Aku membuka keran, kemudian mencuci tangan. Bukan kotor, hanya saja berusaha mencari ketenangan dari suara gemericik air.

Celakalah jika Keina menyukai Digma. Bukan, bukan aku tak ingin Digma bahagia. Bukan aku tak ingin orang yang aku cintai bahagia. Hanya saja, jika kebahagiaan orang yang aku cintai dapat membuatku terluka, bagaimana mungkin aku berkata silakan bersama?

Sayangnya, takdir tak memerlukan izinku. Mungkin saja sekarang Digma sedang menggenggam tangan Keina sambil mengumandangkan kalimat cinta. Lalu Keina membalas bahwa ia merasakan hal serupa. Lalu mereka berjanji untuk bahagia bersama.

Oh, akankah aku bahagia hanya karena orang yang aku cintai bahagia? Omong kosong. Luka tetaplah luka, dan kehilangan tetaplah kehilangan.

Aku menutup keran, kemudian menutup mata dan mengambil napas panjang.

Tenang, Arsy, jangan berimajinasi terlalu jauh.

Digma begitu menghargaiku, ia tak mungkin menjadikan Keina sebagai kekasih tanpa memberitahuku terlebih dulu.

Tapi ... tunggu. Terakhir kami bertemu, Digma marah padaku.

Oh, benarkah ini sudah berakhir?

Aku membuka mata.

Terserah. Sekarang, Mikha telah datang padaku. Mungkin takdir merumuskan dia untuk mengobati lukaku.

Aku tersenyum kecil, sambil menggenggam kalung pemberian Mikha yang masih menemani leherku.

Tak lama, beberapa teman yang masuk toilet menyapa, kemudian aku membalasnya. Salah satu becanda bahwa aku cemburu melihat Keina dan Digma, lalu aku menanggapi dengan tertawa.

Dengan langkah pasti dan kepercayaan diri penuh, aku keluar dari toilet.

Namun bagai tersambar petir, sepasang mata rupawan membuat tubuhku kaku.

"Ikut gue."

***

"Kita mau kemana? Pesta baru aja dimulai."

Digma, yang sedang menjalankan kemudi di sampingku, tak menjawab. Ntah marah, atau lelah. Tapi terkadang Digma memang bersikap dingin. Ini sudah biasa, dan aku takkan kecewa.

Selalu begitu.

Beberapa menit berlalu, Digma pun menghentikan mobil di sebuah tempat yang sepi dan buntu, seperti jurang. Mungkinkah Digma mengajakku mati? Oh, tentu tidak.

Aku menyusul Digma yang sudah keluar dari mobil sejak tadi, dan betapa terkejutnya aku ketika disuguhi pemandangan perkotaan yang dipenuhi kerlap-kerlip lampu warna-warni.

"Waw," aku menghampiri Digma dan menyender di depan mobilnya, "ini keren."

Digma tak menjawab. Tangannya terlipat di depan dada. Tapi tak apa, bersamanya dan melihatnya bersikap dingin lebih baik daripada jauh darinya dan melihatnya tertawa hangat.

Bukan, bukan aku egois, karena aku yakin Digma pun tak masalah jika berada di dekatku. Maksudku, kebahagiaan ini milik kami, bukan hanya milikku.

Aku yakin itu.

"Tapi kabur dari pesta, emangnya gak apa-apa, ya?" tanyaku ragu, sambil memandang wajah Digma. Yang dipandang tak menoleh, tak juga menjawab. Tapi tak apa.

Aku pun kembali melihat pemandangan yang tampak seperti lukisan. Senyumku tak berhenti mengembang, lupa bahwa ada orang yang ku tinggalkan, lupa sedang mengenakan kalung dari siapa, lupa juga bahwa seseorang di sampingku sedang dicap sebagai pasangan seorang putri.

Tiba-tiba Digma menjatuhkan kepalanya ke bahu kananku. Awalnya aku kaget dan merasa tidak nyaman, tetapi akhirnya aku terdiam tenang.

Digma tetaplah Digmaku.

"Maaf," ujar Digma pelan, "maaf udah bikin lo pergi bareng cowok lain," aku tertegun, lalu Digma melanjutkan, "padahal lo gak kenal deket sama dia."

Tanganku menyentuh pipi kanan Digma, mengelusnya pelan.

"Dan bodohnya gue cuma ngelarang lo pergi, tanpa bertindak apa pun. Temen-temen gue mungkin ke rumah lo buat ngajak bareng, tapi seharusnya gue nyadar kalo yang lo mau bukan mereka, tapi gue."

"Udahlah, Digma." Aku berusaha menenangkan.

"Sama kayak gue gak suka ngeliat lo bareng cowok lain, lo juga pasti gak suka ngeliat gue bareng sama cewek lain."

"Gak apa-apa, Digma, gue seneng kok liat lo bareng Keina, karena lo juga pasti seneng."

Nah, kan, meski pikiranku mengutuk kalimat itu sebagai omong kosong, tetap saja mulutku berkata demikian di hadapan Digma.

"Tapi lo pasti gak nyaman sama Mikha."

"Nggak, kok. Mikha baik. Dia bisa bikin gue nyaman."

Aku tak berbohong, Mikha memang baik dan aku nyaman bersamanya. Namun, bersama Digma jauh lebih membahagiakan daripada bersama lelaki itu.

"Ya, Mikha emang baik," Digma menghela napas, "sama semua orang, termasuk gue." Aku menatap Digma heran, kemudian ia melanjutkan, "Dia bilang sama gue kalau sebenernya Keina udah punya pacar."

Mataku membulat, terkejut setengah mati.

Bukan, bukan terkejut karena Keina memiliki kekasih, tapi terkejut karena Digma baru saja mengakui tindakannya: bahwa ia sedang menjadikanku sebagai pelariannya saja.




Berikan bintangmu^^

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang