H u r t || S e b e l a s

166 14 0
                                    

Tifarsy

Coba bayangkan, bagaimana rasanya menjadi aku. Melihat orang yang dicinta menatap perempuan lain begitu intens, padahal ia berada di sampingku.

Digma, lelaki itu, mungkinkah ia lupa untuk membawa hatinya?

Mengapa ia selalu sejahat ini, ya ampun. Baru tadi pagi ia terlihat marah kepada Keina, tapi saat ini ia sedang melihat perempuan itu penuh rasa takjub.

Hei, Digma, apa kamu baru pertama kali melihat perempuan yang sedang tertawa, hah?

Beberapa saat kemudian, suasana kelas kembali normal. Keina juga berhenti tertawa, dan geng Digma kembali mengobrol. Namun aku tetap memandang Digma, dan Digma tetap menatap Keina.

Aku mengalihkan pandangan ketika Keina menyadari bahwa Digma sedang memperhatikannya. Satu hal yang sempat ku lihat, bahwa Keina langsung tersenyum ketika menyadari hal itu.

"Ada apa?" Aku dapat mendengar Keina bertanya.

"Hm? Nggak," jawab Digma, terdengar canggung. Mungkin saat ini ia telah mengalihkan pandangan.

"Ngomong-ngomong, gue minta maaf." Keina berbisik, tapi aku masih dapat mendengarnya. Ntah karena suaranya kurang pelan, atau karena telingaku terlalu tajam.

Padahal sebenarnya karena aku yang berusaha mendengar ucapan Keina.

"Buat apa?"

Keina dan Digma berpandangan. Mungkin mereka merasa dunia hanya milik mereka berdua. Mereka tak peduli pada teman-teman yang sedang asyik mengobrol, atau padaku yang masih berada di samping Digma.

"Buat tadi malam. Maksud gue, tentang pacar-"

"Oh, udahlah, lupain aja. Itu bukan masalah."

Apa aku tak salah dengar? Bukan masalah, katanya. Digma, ayolah, kamu bahkan tampak hancur tadi malam. Kamu sampai kabur dari pesta itu, dan datang padaku.

Ya, kamu memang selalu datang padaku ketika hancur.

Selalu begitu.

"Bukan masalah?" Keina rupanya sama sepertiku, tak percaya dengan perkataan Digma. "Tapi surat-"

"Surat? Surat apa?" Lagi-lagi Digma memotong ucapan Keina, kali ini dengan suara normal, membuat teman-teman segengnya melirik mereka berdua.

"Urusan rumah tangga gak usah dibawa ke sekolah," ejek Bima.

"Pasti lagi rundingin mau pake kb suntik atau pil," timpa Dika.

"Terus anaknya mau satu atau dua," tambah Genta.

Riko, Gary, dan Fani tertawa, Digma dan Keina tersenyum malu, sedangkan aku berdiri sambil menggaruk hidung.

"Gue ke toilet dulu, ya."

Aku membalikkan badan, lalu Fani bertanya, "Anterin jangan?"

"Gak usah," jawabku setengah berteriak, tanpa melihat Fani.

Di luar kelas, aku menghembuskan napas lega. Rasanya tak tahan mendengar obrolan Digma dan Keina yang saling malu -apalagi ketika geng Digma mulai memojokkan mereka.

Tentu saja, toilet hanya menjadi alasanku untuk keluar. Tapi kemana aku harus pergi sekarang? Ke toilet sekadar untuk mencuci tangan, lalu keluar toilet dengan harapan bertemu Digma seperti di pesta? Jangan mimpi.

Namun mataku tiba-tiba saja menangkap sosok Mikha di koridor seberang. Lelaki berkacamata itu sedang berdiri, fokus membaca, sendirian, di depan pintu kelas. Aku ingat, kelas Mikha berada di lantai 2, sama sepertiku.

"Lo suka sama Mikha?" bisik seseorang tiba-tiba, tepat di telinga, membuatku merinding.

Aku terkejut ketika memutar kepala dan menemukan wajah Digma yang berada hanya beberapa sentimeter di depanku.

"Apa sih." Aku mendorong Digma, lalu melihat ke arah lain, mungkin dengan pipi merona. Tampak geng Digma yang sudah keluar kelas dan berjalan menuju tangga. Tebakanku, mereka akan pergi ke kantin.

Padahal baru beberapa saat yang lalu mereka makan pada jam istirahat.

"Gue sama yang lain mau ke kantin. Lo mau ikut?" Tebakanku memang sering tepat.

Mataku melirik ke arah kelas, berusaha mencari Fani dan Keina, tapi mereka tak terjangkau.

"Kei masih kenyang katanya, kalo Fani, ntar nyusul," terang Digma seolah membaca pikiranku.

"Gue gimana ntar, deh," kataku menimbang, "masih kenyang soalnya."

Digma mengangkat sebelah alis, sedangkan aku memandang punggung geng Digma yang beberapa detik kemudian menghilang ditelan tangga.

"Ngikutin Keina, eh?" goda Digma sambil mencolek daguku, tapi kemudian aku menepisnya pelansambil menggeleng.

"Udah sana, pergi," usirku sambil mendorong lengan Digma pelan.

"Atau ...." Digma menyilangkan tangannya di depan perut, lalu melanjutkan, "lo mau ngeliatin Mikha sampe puas?"

Mataku membulat, tapi langsung melihat ke arah Mikha. Lelaki itu masih berada di tempatnya, tapi buku yang ia pegang telah terlipat dan matanya seperti menatap ke arahku dan Digma.

Aku segera memutarkan kepala, menatap Digma dengan mata masih membulat.

"Dia lagi ngeliatin kita bukan sih?"

Digma tersenyum usil, lalu tiba-tiba menarikku ke dalam pelukannya.

"Eh-"

"Kalo dia beneran suka sama lo, dia bakalan pergi."

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang