H u r t || E m p a t b e l a s

186 14 6
                                    

Digma

Arsy melempar tanganku ketika kami sampai di meja. Teman-teman yang ada disana menoleh tanpa berkata apa pun, atau mungkin mereka memang sudah memperhatikan sejak kami berada di gerbang kantin.

"Gue pikir lo berlebihan deh, Dig," komentar Gary akhirnya, ketika Arsy duduk di kursiku yang ada di samping lelaki itu. Aku yang sedang mengambil kursi dari meja lain, tak menjawab.

"Udah biasa kali Digma kayak gitu." Riko berkomentar sebal.

Mereka memang selalu membela Arsy, huh. Apa salahnya melindungi sahabat sendiri? Bukankah itu hal yang wajar?

"Digma kayak gitu juga karena ingin melindungi Tifar, kan?" Tiba-tiba Keina menyela. Aku menoleh ke arahnya, diikuti oleh Arsy, lalu yang lain.

"Wah, akhirnya Digma ada yang ngebelain," celetuk Genta.

"Tapi nih ya, gue rasa lo gak berhak ngekang Tifar, kalau lo sendiri masih jalan sama cewek lain." Ucapan datar Fani membuat suasana hening, dan Arsy menatap Fani seolah berkata, "Kenapa lo bilang gitu?!"

Hingga beberapa saat kemudian, Dika menambahkan, "Gue setuju sama Fani."

Aku mengerlingkan mata, malas menanggapi ocehan mereka. Namun sebenarnya aku menyetujui sebagian ucapan Fani, karena aku memang merasa mengekang Arsy, tetapi sudah aku bilang, kan, aku melakukannya untuk melindungi dia. Meski aku tahu caranya salah, tetapi bukankah itu lebih baik daripada diam saja?

Selain untuk melindungi, aku juga melakukannya untuk ... kebahagiaanku sendiri. Oh, aku memang egois. Tetapi aku benar-benar tak suka jika harus melihat Arsy dekat dengan lelaki lain, meski bukan berarti aku menyukai perempuan itu. Ayolah, aku takkan mungkin menyukai sahabatku sendiri, meski aku tahu ia telah menyukaiku sejak lama. Bagaimana pun, persahabatan yang terlibat rasa saling suka, lambat laun akan retak seiring hilangnya rasa suka itu, dan aku tak ingin hal itu terjadi.

"Gue ... ke kelas duluan, ya," pamit Bima yang kemudian pergi. Kami semua menoleh, lalu saling pandang penuh kebingungan.

"Bete dia." Kembaran lelaki itu, Genta, menerangkan. Oh, apa aku belum memberi tahu bahwa Genta dan Bima kembar? Ya, mereka kembar, meski nama mereka jauh berbeda. Selain nama, yang membedakan mereka hanyalah kacamata dan tinggi badan. Bima berkacamata, sedangkan Genta tidak, dan Bima lebih tinggi daripada kembarannya itu.

"Bete kenapa?" tanya Riko yang kemudian kembali mengunyah permen karet yang entah sudah berapa lama ada di mulutnya.

"Ah, gue tau!" Arsy tampak bersemangat, kemudian ia melanjutkan, "Gara-gara ngeliat Mikha, ya?"

Semua pasang mata yang mengelilingi meja langsung menatap Arsy, penasaran, kecuali Keina.

"Lo kok tahu? Wah, kayaknya Tifar udah deket banget nih sama Mikha," goda Genta yang kemudian melirikku.

Aku menggerutu, kemudian bertanya, "Emangnya Mikha sama Bima ada apa?"

"Waaah, bau-bau pelangi nih," celetuk Fani yang disambut tawa yang lainnya.

"Sialan!" Genta membela kembarannya.

Aku melirik Keina yang tampak enggan mengikuti perbincangan, mungkin karena ini menyangkut tentang sahabatnya. Apakah aku harus mengajak ia pergi? Ah, tapi aku masih penasaran tentang masalah Bima dan Mikha.

"Gue sih gak tahu banyak, tapi pokoknya Mikha sama Lean kayak ada "apa-apa" deh," ujar Arsy yang membentuk tangannya seperti kutip ketika berkata "apa-apa".

"Apa-apa gimana?" Dika tampaknya sama sepertiku, begitu penasaran.

"Pacaran?" Fani menambahkan, tetapi Arsy hanya mengangkat bahu.

"Katanya sih, pas Bima nanya ke Lean, mereka tuh gak pacaran. Cuma, yang dia heranin, mereka ngomongnya aku-kamu-an. Padahal kan biasanya enggak."

"Bener! Gue juga tadi aneh banget ngedenger mereka kayak gitu."

Suasana mendadak ricuh, semua yang mengelilingi meja saling berpendapat. Tetapi, rasa penasaranku mulai luntur ketika melihat Keina yang terus diam dan tampak tak suka.

Hingga akhirnya Riko berkata, "Eh, kita ngomongin orang di deket sahabatnya!"

Mereka langsung melirik Keina, lalu saling pandang tak enak. Aku tetap menatap Keina yang tersenyum dan berkata, "Emangnya kenapa? Bukan masalah kok." Perempuan itu terkekeh di akhir kalimatnya, tetapi aku tidak merasakan kejujuran pada kekehan itu.

"Serius, nih? Nanti lo bilang, lagi, sama Mikha, kalau kita ngomongin dia," ujar Riko blak-blakan.

"Yah, lo takut dia ngelabrak, ya?" ledek Fani.

"Kalau lo semua takut, biar gue yang ngelawan," sahut Dika sambil menepuk-nepuk dadanya.

Semua tertawa, termasuk Keina. Kali ini ia benar-benar tertawa, tidak seperti tadi. Aku harap tak ada lagi yang membicarakan tentang Mikha, Lean, dan Bima.

"Kei, lo kan deket sama Mikha, lo pasti tahu sesuatu tentang dia sama Lean," celetuk Genta beberapa saat setelah kami berhenti tertawa.

Nah, kan, baruuuu aja gue ngarep topik itu berhenti.

"O-oh?" Keina terkejut. "Gue ...."

Aku melirik jam tangan, lalu berdiri. "Bentar lagi masuk pelajaran baru, kan? Cabut yuk," ajakku yang kemudian pergi setelah mendengar teman-teman menggerutu karena aku memotong Keina, tapi tetap ikut berdiri.

Aku tersenyum kecil, merasa menjadi pahlawan. Kei, lo harus berterima kasih sama gue, batinku kemudian.

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang