H u r t || D u a b e l a s

179 13 0
                                    

Napasku tertahan. Digma melakukannya terlalu tiba-tiba, sehingga aku merasa malu meski terbiasa berada di pelukan Digma.

Apalagi ini di sekolah, dan guru mana yang akan membiarkan muridnya berpelukan?

Sekeras mungkin aku berusaha melepaskan Digma, hingga kami saling terpental dan hampir jatuh. Namun Digma malah tertawa sambil melihatku, lalu melihat ke arah Mikha.

"Lihat, dia bener-bener suka sama lo."

Aku segera membalikkan badan, dan tak menemukan Mikha di koridor seberang.

"Jadi ...." Digma membalikkan badanku dengan menyentuh bahu. "Lo gak boleh deket-deket sama dia. Dia itu berbahaya."

Bibirku terangkat, tersenyum sinis. Mataku menatap Digma tajam.

"Dia baik sama lo cuma karena dia suka. Kalo suatu hari dia lupain lo, maka dia gak bakal sebaik-"

"Kalo dia baik sama gue cuma karena suka, berarti bagus, dong? Dia gak bakal baik sama cewek lain, tapi cuma sama gue."

Digma melepaskan bahuku, lalu melihat ke arah lain.

"Lagipula belum tentu dia suka sama gue."

"Pokoknya jauhin Mikha. Lo kan tau gue gak suka lo deket sama cowok lain, Ar." Digma mengelus rambutku pelan.

Aku menarik napas panjang. Jujur saja, aku senang Digma mengekangku. Aku senang, karena dia yang melakukannya, meski hal itu bukan berasal dari rasa cemburu.

Digma egois. Ia tak ingin memilikiku, tapi ia juga tak ingin aku menjadi milik orang lain. Tapi aku merasa diinginkan karena hal itu.

Bahkan aku berharap, Digma selalu begitu.

"Katanya mau ke kantin," sindir Fani dari ambang pintu. Di belakangnya, ada Keina yang mengintip, membuat Fani maju dan membiarkan perempuan itu keluar.

"Katanya kenyang," sindir Digma, mengabaikan Fani, membuatnya mengerlingkan mata sambil menghampiriku.

"Abis kasian Fani gak ada temennya. Gue pikir di luar gak ada Tifar," jawab Keina dengan gaya yang, ekhem, memesona.

"Liat deh, mereka kalo ngobrol kayak gak ada orang lain, ya. Saling tatap berdua, nganggep kita cuma nyamuk yang lewat," sewot Fani berbisik, kemudian ia menepuk bahuku dan berkata iba, "lo yang sabar, ya."

"Apa sih ah." Aku malah tertawa, tepatnya pura-pura tertawa agar dianggap baik-baik saja.

"Yuk, ke kantin. Lo juga ikut, Arsy," titah Digma sambil berlalu, diikuti Keina yang sebelumnya mengajakku dan Fani, berbasa-basi, tapi hanya kami balas dengan anggukan.

"Kita harus ngawasin mereka, Tif, ayo," ajak Fani bersemangat, sambil menarik lenganku.

Aku menahan diri, sambil menggelengkan kepala dan tersenyum licik.

"Lo tahu Mikha?"

Fani menatap curiga, lalu berretorik, "Cewek mana sih yang gak tahu Mikha?"

Aku terkekeh, lalu kembali bertanya, "Dia kelas apa sih? Tadi gue lihat dia di seberang, tapi gue gak tau tepatnya kelas dia di mana."

Fani membulatkan mata, sebelum mengejek, "Seriusan lo gak tahu? Ya ampun Tif, kemaren lo jadi pasangan dia ...." Fani mendekatkan diri ke telingaku, lalu melanjutkan, "meskipun lo-nya kabur sih, ya." Perempuan itu terkekeh di akhir kalimatnya.

"Sialan, lo. Gue serius, dia kelas apa?"

"Emang mau ngapain, sih? Mau ngembaliin sesuatu, ya? Apa kemaren dia ninggalin sapu tangan, atau kacamata, atau jam tangan, atau apa kek gitu?"

"Fani!"

Setelah perdebatan yang cukup sengit, akhirnya aku diberitahu bahwa Mikha termasuk anggota kelas MIPA 1.

Baiklah, aku akan menghampiri lelaki itu mulai detik ini. Maksudku, aku akan mendekati Mikha, mengingkari aturan Digma. Aku ingin lihat, sampai mana kekuatan larangan Digma.

Tapi ... aku juga tak ingin memberikan Mikha harapan. Oh, apa aku terdengar begitu percaya diri? Baiklah, aku ralat. Aku tak ingin Mikha merasa bahwa aku menyukainya. Aku ingin mendekatinya sebagai teman: selain untuk menjaga hati Mikha, juga untuk menjaga hatiku sendiri.

Fani tertawa sambil menyilangkan kedua telunjuknya di depan bibir, berjanji untuk merahasiakan rencana yang baru saja aku ceritakan padanya.

"Semangat!" ujarnya sambil berlalu, menyusul Digma, gengnya, dan Keina yang mungkin sedang menikmati makanan di kantin.

Aku membalikkan badan, lalu berjalan menuju koridor yang menghubungkan koridor kelasku dan kelas Mikha.

Baiklah. Tifarsy, mari kita mulai.

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang