H u r t || T i g a

263 23 5
                                    

Digma

"Lepasin saya!" teriak Keina sambil berusaha melepaskan tangan Dika dan Genta yang masih mengenakan topeng. Keina yang matanya ditutupi kain hitam terus menggerak-gerakkan badan, membuat Dika dan Genta agak kewalahan.

Teman-temanku tertawa tanpa suara, sedangkan aku menggigit bibir sambil tersenyum kecil, ntah karena kasihan melihat Keina seperti itu, atau karena gugup dan tak siap untuk menyatakan perasaan.

Bima menepuk pundakku, lalu berbisik, "Teriak!"

Aku mengambil napas panjang, kemudian, "Keinaaa!" teriakku dengan nada takut. Gary, Riko, dan Bima melempar-lempar kursi untuk mempertegang suasana. "Aaaaa!" aku berteriak seolah kesakitan.

"Digma?" tanya Keina pelan, tepat saat Dika dan Genta melemparnya ke lantai, membuat ia meringis. Ingin rasanya aku memarahi mereka karena memperlakukan Keina sekasar itu. Ah, apa aku terlalu berperasaan? "Dig, kita dimana?! Mereka siapa?!"

Dika dan Genta mengikat tangan Keina, sedangkan Gary dan yang lainnya mengenakan topeng.

"Tali, tali," ingatku tanpa suara pada Gary, Riko, dan Bima sambil memindahkan tangan ke belakang. Mereka dengan cepat mengikat tanganku. "Lo tenang, Kei, kita bakal baik-baik aja!" teriakku pura-pura.

Genta membuka penutup mata Keina, kemudian membuangnya ke belakang. Aku -dengan tangan terikat- berada di depan Keina yang tangannya juga terikat. Ia kelihatan sangat takut, dan itu membuatku sadar bahwa aku harus memasang tampang tegang.

"Siapa bilang lo berdua bakal baik-baik aja?" tanya Dika yang suaranya berubah karena terhalang topeng.

"Kalian siapa?!" tanya Keina sambil berteriak menantang. Ia menengadahkan wajahnya, menatap satu-persatu kelima pasang mata yang berada di balik topeng. Aku hanya menunduk, seolah takut dan kelelahan.

"Gak penting kita siapa, yang penting sekarang lo siap-siap, karena hidup lo gak bakal lama lagi," ujar Gary setengah berbisik sambil memegang dagu Keina. Adegan ini tidak ada dalam rencana!

"Jangan sentuh dia!" perintahku dengan tampang marah. Oh, aku-benar-benar-cemburu.

"Jangan sentuh kayak gini, hah?" tanya Gary sambil memegang kedua pipi Keina dengan jempol dan jari tengahnya.

"Kalo lo gak mau dia kesentuh, ya lo harus ngelawan," ejek salah satu temanku, ntah siapa, karena semuanya -selain Gary- berada di belakangku.

"Kurang ajar kalian!" teriakku sambil berusaha melepaskan tali di tangan. Keina terisak sambil tak henti memohon agar dilepaskan.

"Lo pikir lo bisa ngebuka tali itu?" tanya Riko yang tiba-tiba saja berada di hadapanku sambil menempelkan pisau di leherku. Pisau bohongan, tentu saja.

"Aaaaaa!" Keina berteriak histeris. Uh, apa dia mengkhawatirkanku? "Lepasin dia!"

"Tenang aja, kami bakal lepasin lo dan pacar lo ini," perkataan Riko benar-benar membuatku ingin tertawa, "asalkan kalian mau nurutin semua permintaan kami."

"Apa mau kalian, hah?!"

Aku dapat merasakan teman-temanku yang semula di belakang, berjalan mendekatiku. Genta di samping kiri, sedangkan Dika dan Bima berada tepat di belakangku. Mereka berdua diam-diam membuka tali di tanganku, sedangkan yang lain terus berbicara untuk mengalihkan perhatian Keina.

Jantungku terpacu lebih cepat. Ini sudah hampir berakhir. Drama ini akan segera selesai. Aku akan segera menyatakan perasaan kepada Keina.

"Hiaaaah!" aku melemparkan tinju ke arah teman-teman yang berada di sekitarku, tepat saat Dika dan Bima selesai membuka tali.

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang