H u r t || L i m a

181 19 3
                                    

Tifarsy

Ini seperti bukan aku. Oh, mana mungkin aku bisa menerima ajakan seseorang yang sama sekali tak aku kenal?

Oke, aku tahu Mikha. Dari sayap kanan sampai sayap kiri sekolah, semua pasti tahu dia, penyiar radio sekolah alias partner perempuan paling sempurna di sekolah ini, Keina. Tapi hanya sebatas tahu, bukan kenal.

Namun tiba-tiba saja, Mikha mengajakku untuk menjadi pasangannya di pesta Keina. Mungkin bagi kebanyakan orang itu adalah sebuah kehormatan, tapi bagiku? Suatu keajaiban jika aku menerima ajakan Mikha. Dan keajaiban itu baru saja terjadi.

Bukan, bukan karena Mikha yang mengajak. Bukan karena sosok idola yang penggemarnya menyebar luas di seantero sekolah. Bukan karena terhipnotis ketika ia mengajak. Hanya karena satu alasan.

Digma.

Aku ingin membuktikan kepada lelaki itu bahwa aku baik-baik saja meski tanpa dia. Aku ingin menunjukkan bahwa aku bisa bersama dengan lelaki lain. Aku ingin membalaskan sakit hati yang ia beri ketika menerima ajakan Keina untuk menjadi pendampingnya di pesta.

Namun aku tahu, Digma takkan sakit melihatku bersama orang lain.

"Barusan Mikha mau apa?" tanya Digma sambil memegang tanganku. Ia baru saja mengajakku pulang, dan sekarang kami sedang berjalan menuju parkiran.

"Bukan apa-apa."

"Oh, ya? Tapi tumben banget dia nyariin lo. Bukannya kalian gak saling kenal?"

Aku tak menjawab. Sebenarnya aku ingin sekali mengatakan bahwa aku akan pergi ke pesta Keina bersama Mikha. Aku ingin sekali melihat tanggapan Digma. Aku ingin sekali dia marah. Aku ingin sekali dilarang pergi bersama lelaki lain. Aku ingin sekali dia tak jadi bersama Keina, dan memilih untuk bersamaku. Aku ingin sekali. Ingin sekali begitu.

***

Kami, aku dan Digma, telah sampai di depan rumahku. Selama perjalanan, Digma tak sekali pun membahas tentang pesta Keina.

Harus aku yang memulai. Harus aku yang memancing.

"Lo nanti jadi nganterin Keina?"

Digma memandangku, kemudian mengangguk dan menjawab, "Ya."

"Oh, baguslah."

Bagus. Bagus darimananya.

Aku membuka pintu, tapi enggan beranjak. Aku ingin menunggu Digma bertanya dengan siapa aku akan pergi ke pesta. Tapi Digma tak juga bertanya.

"Gue nanti pergi bareng Mikha," ujarku akhirnya sambil melebarkan pintu, bersiap untuk keluar.

"Tunggu." Digma memegang lenganku, membuatku menoleh. Mata Digma membulat. Ia tampak tak percaya. "Mikha?"

"Ya, tadi dia nemuin gue buat ngajak bareng."

"Terus lo mau?"

"Emangnya gue punya alasan buat gak mau?"

Digma, marahlah. Marahlah.

"Ar," Digma tertawa sinis sambil menggelengkan kepalanya.

"Kenapa?" tanyaku sambil tersenyum, menantang.

"Lo yang bener aja deh."

Aku tertawa sambil memalingkan wajah. Digma masih tetap seperti dulu. Digma masih Digmaku. Digma masih tak mau jika aku bersama laki-laki lain.

"Emang apa salahnya sih kalo gue bareng sama Mikha?" tanyaku tanpa menghentikan tawa.

"Lo nanya apa salahnya? Ya ampun, Ar, lo bahkan gak kenal baik sama dia."

"Kalau gitu ini permulaan buat kenal baik, iya kan?"

Digma memegang tanganku kuat. Aku berusaha melepasnya, tapi tak bisa.

"Jangan pergi sama dia. Sama temen-temen gue aja."

Oh, Digma. Apa-apaan ini. Lo bilang sama temen-temen lo aja? Kenapa lo gak bilang sama lo?

"Apa bedanya pergi sama Mikha atau pergi sama geng lo?"

"Ar, lo kan tahu," ujar Digma dengan tampang memelas.

"Tahu apa? Tahu kalau lo gak suka liat gue jalan sama cowok lain? Gak suka liat gue deket sama cowok lain?" tanyaku dengan nada tenang.

Digma terdiam. Tangannya menjauh dari tanganku.

"Tapi lo cuma gak suka, bukan cemburu. Lo gak mau kehilangan gue, tapi lo gak ngerasain sakit kalau ngeliat gue sama cowok lain. Gitu, kan?"

Lo beda sama gue, Dig.

"Lo ngerasa terkekang?"

Aku menggeleng, lalu menjawab, "Bukan. Bukan itu poin yang pengen gue sampein."

"Lo boleh pergi sama Mikha. Itu hak lo."

Aku menggeleng sambil tersenyum kecut, kemudian keluar dari mobil Digma. Baru beberapa langkah, tapi aku sudah berhenti.

Aku ingin dikejar, Digma!

Aku kembali ke mobil Digma, kemudian membuka pintunya dan berkata, "Gue mau pergi sama Mikha karena lo gak mungkin pergi sama gue. Karena gue pengen buktiin sama lo kalo gue gak apa-apa meski gak bareng lo."

Segera aku tutup kembali pintunya, kemudian lari menjauhi mobil Digma. Sampai aku masuk ke dalam rumah dan menutup pintu, Digma masih berada di tempatnya.

Bodoh, Arsy. Digma mana mungkin mengerjarmu.

Bodoh, Arsy. Dia akan menjauh karena kelakuanmu.

Bodoh, Arsy.

Bodoh.


HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang