H u r t || T u j u h b e l a s

178 14 0
                                    

Tifarsy

"Sebegitu kagetnya, eh?" tanya Mikha sambil tersenyum kecil, seperti senyum-senyum yang biasa ia lontarkan.

Aku menatap lelaki itu setengah bingung. Apa yang begitu perlu ditanyain? Aku mendecak. Jawabannya pasti iya, kan!

"O-oh, pasti lo pikir, ini bukan zamannya jodoh-jodohan. Tapi, sayangnya, ini yang terjadi di hidup gue."

Aku menggeleng. "Enggak, enggak, beberapa kenalan gue ada yang dijodohin juga, demi bisnis atau persahabatan keluarga," terangku yang kemudian melanjutkan setengah sebal, "tapi lo sama Lean ...."

Mikha yang dekat dengan Keina dan tampak sedang berusaha mendekatiku (atau jangan-jangan aku yang kegeeran?), dijodohkan dengan Lean yang hampir jadian dengan Bima. Gak ada yang bakal nyangka soal perjodohan mereka, aku berani jamin. Meski mereka ngomong aku-kamu-an, tapi untuk perjodohan ... aku tak sempat berpikir ke arah sana.

"Gue sama Lean ...." Mikha mengulang perkataanku, berharap aku melanjutkan. Namun menyadari aku takkan melakukannya, ia pun menerangkan hal lain, "Itulah kenapa, gue sama Lean gak bicara gue-guean, takut keceplosan di depan Oma."

Uh, aku tak tahu harus berkomentar bagaimana, atau memang kali ini aku tak harus mengomentari apa pun? Entahlah, tapi benar bukan, bahwa tidak semua hal harus kita komentari?

"Lo gak mau bilang apa kek gitu?"

Namun Mikha mungkin tak mengerti hal itu. Ia tetap saja menuntutku memberikan komentar untuk kenyataan yang baru saja ia paparkan.

"Tapi gue mau ngelurusin satu hal, ya." Mikha menghentikan mobilnya karena kami memang telah sampai di depan rumahku. Sambil membenarkan letak kacamatanya, lelaki itu melanjutkan, "Gue sama Lean gak saling suka. Sama sekali enggak."

Aku menatapnya dengan dahi yang semakin berkerut. Sungguh, aku tak bertanya apa pun, jadi Mikha tak perlu menerangkan seterang-terangnya.

"Seperti yang lo dan orang-orang tahu, Lean itu deket banget sama Bima, kayak orang pacaran." Aku mengangguk-angguk, mulai malas mendengarkan. "Gue yakin Lean suka sama Bima, begitupun sebaliknya, jadi mana mungkin gue ngehancurin hubungan mereka."

"Lalu ...." Aku tak tahu lagi harus berkata apa.

"Lalu, ya, pokoknya gue sama Lean gak saling suka. Dia suka sama orang lain, dan gue suka sama orang lain, simpel," terang Mikha yang tampak seperti anak kecil berkhayal tentang ini dan itu.

"Simpel dan lo neranginnya ribet banget," timpalku yang kemudian terkekeh. "Oh, dan lo suka sama orang lain karena Lean suka sama Bima?" simpulku, sepenuhnya becanda.

"Enggak!" elak Mikha cepat. "Gue suka sama orang itu sebelum Oma jodohin gue sama Lean." Aku meng-oooh pelan, lalu mendengarkan Mikha yang kembali mengoceh, "Gue suka sama orang itu diem-diem, gue sayang sama dia, tapi gue cuma bisa liatin dia dari jauh. Gue selalu pengen deket sama dia, selalu pengen jagain dia secara langsung, tapi dia udah punya penjaga sendiri. Gue bener-bener ngeras-"

"Siapa?" potongku, sebelum Mikha mengisi satu lembar penuh kertas HVS ukuran F4 dengan keluh-kesahnya. "Siapa perempuan beruntung itu?" ulangku.

Mata Mikha membulat mendengar pertanyaanku. Mulutnya bungkam, berhenti menceritakan perasaannya yang menurutku -maafin gue, Mikha- tidak terlalu penting.

Melihat Mikha yang sepertinya enggan menjawab, aku pun melontarkan candaan, "Atau lelaki, eh?"

Mikha menggeleng cepat, dengan kacamata yang berembun, mungkin karena suhu wajahnya mulai memanas. Sambil memalingkan wajah dan melepas kacamata, Mikha berkata, "Sorry, Tif, gue terlalu banyak omong."

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang