H u r t 2 || E m p a t

34 4 0
                                    

Liburan telah berakhir. Suasana malas begitu terasa di sepanjang koridor sekolah. Bahkan pada pukul tujuh kurang lima belas, kelas Tifarsy masih kosong --baru terisi lebih kurang setengah dari kursi yang ada.

Tifarsy memojok bersama Fani, memakan roti bakar dan martabak telur yang mereka bawa masing-masing dari rumah. Digma yang baru datang langsung menghampiri mereka, dan tanpa berkata apa pun, Tifarsy menyuapi lelaki itu sepotong roti.

"Dika bakal sekolah enggak sih? Kok belum dateng?" tanya Fani di sela kunyahannya.

"Telat dia, bangun setengah tujuh." Gary yang baru bersuara dari tadi, mendekat menuju Tifarsy, Digma, dan Fani. Pandangannya langsung tertuju pada Tifarsy, masih merasa bersalah. Sementara itu, Tifarsy sendiri sudah merasa tak masalah.

Tiba-tiba, keheningan terpecah karena suara ribut dari speaker. Radio sekolah. Pengisinya bukan Keina dan Mikha lagi, tentu saja, melainkan dua adik kelas yang telah lolos seleksi. Sebagai pengisi radio baru, mereka begitu santai dan asyik, tak terdengar canggung sama sekali.

"Sambil menunggu upacara, kayaknya bakal asyik nih kalau kita kenalan sama tiga orang perwakilan murid baru dari masing-masing angkatan," ujar penyiar lelaki.

"Ya, kali ini kita sudah bersama dengan tiga cogan yang siap menarik hati semua ciwi-ciwi manja," tambah penyiar perempuan dengan nada yang begitu imut.

"Coba nih, perkenalin satu-persatu. Mulai dari kelas sepuluh, ya, yang mewakili semua murid angkatan kalian."

Perkenalan pun dimulai. Tifarsy dan teman-temannya masih sibuk makan sambil mendengarkan radio, tanpa sedikit pun percakapan karena tak ada lagi yang dapat dibicarakan.

Sementara itu, Keina sedang bersama Mikha di kantin, asyik mendengarkan radio dengan penuh rasa bangga. Rencananya, mereka akan menemui kedua penyair baru setelah acara berakhir --dan setelah mangkuk bubur di meja mereka kosong.

Perwakilan kelas 10 memulai perkenalan. Setelah menyebutkan nama, ia menyebutkan asal sekolah, lalu alasan masuk sekolah ini. Selain itu, ia juga menyampaikan harapan: semoga dapat berbaur tak hanya dengan teman seangkatan, tetapi juga dengan kakak-kakak kelas.

Setelah harapan tersebut disambut oleh kedua penyiar, kini giliran perwakilan kelas 11. Ia menyebutkan perkenalan dasar seperti yang dilakukan adik kelasnya tadi. Setelah itu, si anak baru menyampaikan harapan: semoga dapat jodoh di sekolah ini.

Sontak hal tersebut membuat para penyiar tertawa, dan penyiar perempuan menggoda dengan bertanya, "Kriteria jodohnya seperti apa, nih? Yang cantik langsing tinggi semampai baik hati dan tidak sombong seperti aku kah?"

"Boleh. Id linenya apa?" Si anak baru balas menggoda.

Lalu penyiar lelaki menghentikan mereka dengan berkata, "Baiklah, kita tinggalkan saja orang-orang yang sedang pdkt ini. Selanjutnya, silakan, Kak."

Di kelas yang cukup jauh dari ruang siaran, Tifarsy dan Fani sedang membereskan bekas makan mereka. Sementara itu, Digma asyik bermain gitar di lantai belakang kelas, dikelilingi teman segengnya yang sudah lengkap --kecuali Si Kembar, tentu saja.

"Digma, berisik lo! Gue mau dengerin anak baru, nih. Kan cogan katanya. Kali aja bisa digaet," omel salah satu perempuan di kelas yang sedang berkumpul bersama teman-temannya sambil memegang ponsel masing-masing.

Diomeli begitu, Digma malah semakin menjadi-jadi. Ia terus memetik senar gitarnya, sedangkan speaker masih memperdengarkan radio.

"Hai semua," sapa anak baru dengan suara beratnya. Ia terdiam sebentar seperti memberikan waktu kepada para pendengar untuk berpikir.

Dan, memang waktu tersebut digunakan untuk berpikir oleh sebagian orang: termasuk Keina dan Mikha. Mereka melepaskan sendok yang semula di tangan, lalu saling pandang seolah sama-sama berkata, "Kayaknya suara ini enggak asing, deh."

"Nama gue Hubert Firgeza, anak baru kelas dua belas  …."

Digma menghentikan permainannya. Mata lelaki itu membulat. Dengan setengah emosi, ia bertanya kepada seisi kelas, "Siapa namanya?!"

"Ada apa?" Teman-teman gengnya terkejut melihat reaksi yang tak biasa dari Digma.

"Siapa namanya?!"

"Elo sih main gitar mulu, jadi enggak jelas, kan!" Perempuan tadi kembali mengomel.

Digma tak memedulikannya. Ia tak salah dengar, nama anak baru tadi adalah Hubert Firgeza. Ia tak mungkin salah. Anak itu adalah orangnya. Ia adalah ….

Digma menatap khawatir pada Tifarsy. Perempuan itu terpaku, tak peduli tas yang semula ada di pangkuannya terjatuh. Fani membantu mengambil tas tersebut, lalu bertanya khawatir. Namun bukannya menjawab, Tifarsy malah memutar kepalanya, mencari Digma. Ia membutuhkannya. Ia membutuhkan lelaki itu untuk diberi tahu, bahwa yang ia dengar bukanlah nyata. Bahwa Hubert Firgeza, Gegenya yang telah lama hilang, kembali secara tiba-tiba.

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang