H u r t || E n a m b e l a s

217 15 0
                                    

Keina

"Lo udah ke perpus?" tanyaku menyadarkan Digma yang sedang menatap punggung Tifar dan Mikha.

Oh, jangan sampai Digma menahan sahabatnya. Biarkan saja mereka bersama, agar Mikha senang. Bahkan sekarang tampaknya Tifarsy juga senang. Semacam lampu hijau, eh?

Digma menoleh setengah terkejut, lalu menjawab dengan nada kesal, "Belum, tadi keburu dicegat."

Aku tertawa kecil, kasihan juga melihat Digma seperti itu. Tapi jika ia cemburu, kenapa ia tidak mengantarkan Tifar saja? Kenapa ia lebih memilih mengantarku? Lelaki itu sulit sekali ditebak jalan pikirnya.

"Ya udah, sekarang kita ke perpus aja dulu," ajakku yang kemudian pergi ke arah perpus, diikuti oleh Digma yang tampak berjalan setengah hati.

Sebelumnya, saat bel pulang berbunyi, Digma mengajakku pulang bersama. Aku sempat menolak karena harus pergi ke basecamp pecinta lingkungan, tetapi lelaki itu memaksa dan berkata bahwa ia akan mengantarku kesana.

Bukan sekali dua kali aku mendapat tawaran seperti ini, tetapi dari teman-teman lain, dan Digma baru pertama kali mengajakku seperti ini. Mungkin karena ia sudah memiliki Tifar, hihi.Namun entah ada angin apa, tiba-tiba saja ia menawarkan tebengan kepadaku, dan tampaknya tanpa memberi tahu Tifarsy terlebih dahulu.

"Lo mau minjem buku, atau ngembaliin?" tanyaku basa-basi.

"Oh?" Digma tampak berpikir, lalu melanjutkan sambil menggaruk leher belakang, "Sebenernya gue cuma mau kabur dari Arsy, tapi dia keburu nyusulin."

Aku terkekeh. Digma ini jujur sekali. Kalau aku jadi dia, mungkin aku akan memilih untuk berkata, "Aku akan pinjam buku, tapi lupa judul bukunya apa, biar besok saja aku meminjamnya." Atau mengatakan alasan-alasan lain yang tidak memalukan seperti alasannya saat ini.

"Maafin gue," ujar Digma sambil tersenyum kecil. Kelihatannya ia masih tak terima atas kepergian Tifar dan Mikha. "Yuk, kita balik aja, lo harus buru-buru kumpulan kan?"

Aku pun mengangguk setuju, dan kami berjalan menuju parkiran. Ketika sampai di mobil Digma, aku membuka pintu perlahan, sambil melihat lelaki itu yang sedang bersiap masuk ke dalam mobil. Oh, ternyata dia bukan tipe cowok romantis yang membukakan pintu untuk perempuan yang sedang bersamanya.

Bukan, aku bukan ingin dibukakan pintu oleh Digma, hanya saja, lelaki lain yang pernah mengantarkanku selalu melakukan itu. Kecuali Mikha. Ya, kecuali lelaki itu. Ia sama saja seperti Digma, uh.

"Kenapa?" tanya Digma yang menengok dari arah pintuku.

"Oh, enggak."

Beberapa menit pertama di perjalanan, baik Digma maupun aku tak berkata sedikit pun. Bahkan lelaki itu tak bertanya dimana basecampku berada. Namun aku diamkan saja, lagipula kumpulannya masih setengah jam lagi.

Lima belas menit berlalu, dan Digma baru menyadari bahwa sedari tadi kami hanya berkeliling tanpa tahu tujuan. Ia menoleh ke arahku dengan wajah terkejut, lalu berkata, "Ya ampun, gue lupa." Entah apa yang ia lupakan, mungkin ia lupa bahwa aku ada di sampingnya. "Lo kumpulan dimana?"

Aku menarik napas, lalu tersenyum dan mengatakan, "Kenapa sih lo nyampe segitunya gara-gara Tifar sama Mikha? Kalau lo suka sama dia, kalau lo cemburu dia deket sama orang lain, ya harusnya-"

"Arsy tuh sahabat gue, dan gue cuma khawatir sama dia," balas Digma datar. "Jadi, dimana?" Lelaki itu mengalihkan pembicaraan.

"Mikha kan bukan orang jahat, Dig, kenapa lo mesti sekhawatir itu?"

"Sekhawatir apa?" Digma tampak berusaha menenangkan suaranya. "Gue pikir kekhawatiran gue masih di batas wajar."

"Wajar tuh gak bakal bikin lo lupa sama apa yang lagi lo lakuin, dan lo lagi sama siapa." Aku mengatakannya masih dengan nada tenang, tetapi Digma terdiam, dan membuatku berpikir bahwa ucapanku keterlaluan. "Ah, maaf, gue gak seharusnya ngomong gitu."

"Enggak, gue yang harusnya minta maaf." Digma mengusap kepalaku, membuatku menoleh kepadanya dengan tatapan terkejut. Namun seolah sadar, Digma menarik tangannya dan tampak canggung. "Eh iya, gue juga mau minta maaf soal di kantin."

Aku mengerutkan dahi. Di kantin? Memangnya ada apa di kantin? tanyaku dalam hati.

"Gue bisa liat lo gak nyaman sama bahan obrolan temen-temen gue. Jadi atas nama mereka, gue minta maaf," ujar Digma dengan nada becanda.

Oh, itu. "Mereka temen-temen gue juga, kali," balasku, membuat Digma terkekeh. "Dan lo gak usah minta maaf, gak ada yang salah tentang ini."

"Dia sahabat lo, dan mana mungkin ada sahabat yang senang ketika sahabatnya menjadi bahan perbincangan orang lain?" Digma melirikku dan tersenyum sebelum melanjutkan, "Jadi gue nyelametin lo dengan ngajak kalian ke kelas." Ia terkekeh di akhir katanya.

Aku ikut terkekeh, kemudian berkata dengan nada setengah meledek, "Terima kasih, Digma, lo nyelamatin hidup gue yang berharga ini."

"Cuma terima kasih, eh?" Digma melirikku sekali lagi, lalu melanjutkan, "Lo kan tahu zaman sekarang gak ada yang gratis."

Aku bertanya di sela tawaku, "Terus lo maunya apa?"

Digma menghentikan mobil di belakang mobil-mobil lainnya. Macet lampu merah, dan oh, aku bahkan lupa tentang basecamp.

"Basecamp gue deket toko peralatan bayi," selaku cepat, sambil melihat jam dan menggigit bibir ketika menyadari bahwa waktu yang tersisa hanya lima menit.

Digma mengiyakan, kemudian bertanya, "Sampai dimana tadi?"

"Ya ampun, lo beneran gak ikhlas nolongin gue?" candaku yang kemudian tertawa.

"Ikhlas bersyarat," balas Digma yang ikut tertawa. "Permintaan gue gak muluk-muluk kok."

"Emangnya apaan?" tanyaku sambil menggeser posisi duduk, menghadap Digma. Lelaki itu sesekali menoleh, sambil tersenyum mencurigakan. Ia mendiamkanku cukup lama, membuatku bertanya lagi, "Apa yang lo mau, Digma? Jangan bikin gue penasaran deh."

"Tapi lo gak boleh nolak," pinta Digma, membuatku mengerlingkan mata sambil mengiyakan. "Hari Minggu nanti, kita nonton yuk."

"Hm?" Mataku membulat, lalu menarik diri, menempelkan punggung ke jok. Sambil menimbang-nimbang, aku memangku dagu dengan tangan kiri dan menengok ke jendela.

Nonton? Berdua? Aku menggigit bibir, bingung harus menolak atau menyetujuinya. Memang, tak ada kegiatan apa pun hari itu, tapi apakah boleh? Maksudku, apa Tifarsy tidak akan kenapa-kenapa? Dan, oh, kekasihku, bagaimana jika dia tahu?

Mengingat kekasihku begitu mudah cemburu -bahkan ia cemburu terhadap Mikha-, rasanya akan sangat buruk jika aku ketahuan jalan bersama Digma. Dia mungkin menoleransi jika aku diantar orang lain, tapi untuk jalan dan nonton bersama, itu lain cerita.

"Kok bengong? Gak bisa, ya?" Digma bertanya dengan nada kecewa.

Darahku berdesir. Ini bukan kali pertama aku diajak nonton oleh lelaki selain kekasihku dan Mikha, tetapi mengapa diajak oleh Digma rasanya sedikit berbeda? Mengapa begitu sulit berkata tak bisa?

Aku memejamkan mata, lalu menarik napas panjang. Sepertinya aku masih merasa bersalah atas kejadian di pesta, jadi aku merasakan hal ini. Baiklah, aku tak boleh menolaknya. Lagipula kekasihku ada di luar kota, bagaimana bisa ia tahu bahwa aku pergi bersama lelaki lain?

"Bisa," jawabku kemudian, sambil menoleh ke arah Digma dan tersenyum lebar.

"Baiklah, lusa, jam dua belas siang."

Aku mengiyakan, kemudian tersenyum lebih lebar karena melihat mata Digma yang berbinar.

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang