21 | Our (Broken) Story

214 23 6
                                    

Devian POV

Dengan langkah gemetar, aku pergi menjauhi Carla. Meninggalkan dia yang menangis. Silahkan hina aku brengsek karena tidak menenangkannya. Tapi, sungguh. Aku bingung harus berbuat apa.

Maaf Carla.

Brukk!

"Carla!" Aku mendengar Evelyn menjerit lalu berlari mendekati Carla. Ternyata dia menguping pembicaraan kami diam-diam. Dasar tidak sopan.

Aku terdiam kaku melihat apa yang aku lihat. Carla pingsan. Untuk kedua kalinya di depan mataku. Aku mengepalkan tanganku erat-erat. Apa yang harus aku lakukan?

Aku baru saja memutuskan dia, dan sekarang apa aku harus membantunya? Aku merasa itu tidak ada salahnya, tapi nggak tahu kenapa hati ini berat sekali untuk membantunya.

Aku dengan cueknya mempalingkan wajah dan masuk ke kelas. Aku melihat Setya segera keluar kelas. Seperti Evelyn, dia menjerit memanggil nama Carla.

Sial. Aku benar-benar terlihat seperti pengecut sekarang

***

Sepanjang pelajaran, aku tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran. Ini sudah jam pelajaran kedua, tapi Setya dan Evelyn belum juga kembali ke kelas. Membuatku memikirkan tentang Carla yang sepertinya lama sekali untuk siuman.

Sebenarnya, aku benar-benar terpaksa memutuskan dia. Aku tahu caranya salah, tapi ini yang terbaik. Aku ingin melihatnya bisa mandiri tanpaku. Meski harus mengorbankan hubungan kami.

Aku ingin melihatnya berubah menjadi lebih baik, lebih dewasa, lebih mandiri, tanpa bergantung padaku. Aku sadar selama beberapa tahun bersamanya, dia terlalu bergantung padaku. Bukannya aku risih, tapi aku merasa dia tidak akan bisa menghadapi dunia jika terus seperti ini.

Tolong katakan, apa caraku salah? Aku melakukan hal yang baik untuknya. Aku harap dia sadar suatu saat nanti.

Aku harap.

Pintu kelas terketuk. Aku melihat Setya masuk disusul oleh Evelyn di belakangnya. Mereka berempat menghadap ke guru Sejarah yang sedang menerangkan, sepertinya menjelaskan mengapa mereka baru masuk.

Aku melihat ekspresi wajah Setya. Tidak enak, terlihat marah. Dia menghampiri tempat duduk kami. Begitu dia duduk di sampingku, dia tidak mengambil buku catatannya seperti biasanya. Dia mengepalkan tangannya di atas meja. Seolah kepalan tangannya siap menghantamku kapan saja.

Aku mengernyit menatapnya. Dia melirikku dengan tajam, lalu berkata. "Kamu berhutang penjelasan denganku."

Begitu ya? Baiklah.

***

Di sinilah aku sekarang. Dihadapan Evelyn dan Setya. Mereka seolah hendak menghakimiku.

Aku menjelaskan semuanya dari awal. Tentang Carla yang membuatku kesal, tentang kejadian kemarin, hingga kejadian tadi pagi.

Tapi tidak untuk alasanku memutuskan Carla. Karena cukup aku saja yang tahu rencana ini.

Dan lihat, yang aku dapatkan adalah tatapan sinis dan dingin dari mereka berdua. Mereka masih diam setelah aku selesai bercerita sejak tadi.

Aku menghela nafas. Menyandarkan badanku ke kursi kantin.

"Bego."

Setya mulai angkat suara. Dia mengepalkan tangannya di atas meja. Mukanya memerah menahan amarah.

"Kamu ninggalin dia saat dia dirundungi masalah? Itu namanya laki?" ujarnya. Kata-katanya pedas sekali. "Dimana hati nurani mu? Seharusnya kamu jadi orang yang selalu ada untuknya dan menenangkan dia kalau-kalau ada masalah lagi. Tapi lihat sekarang, kamu justru menyakitinya. Bahkan memutuskannya."

The Difference On UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang