17 | Sorry

188 24 7
                                    

Devian POV

Aku tercengang mendengar penjelasan Setya yang menggebu-gebu. Tidak jarang aku terbawa emosi. Setiap kalimatnya menyiratkan emosi yang sangat. Membuatku bingung.

Jadi, benar yang memberikan kotak itu Naomi?

Hatiku mencelos. Aku tidak percaya bahwa sahabat Carla sendirilah yang melakukan itu. Pengkhianatan.

Carla tidak menceritakan hal itu padaku. Dia hanya diam saja dari hari Sabtu malam itu. Kalau dichat dia menjawab singkat sekali. Lalu saat tadi aku tanya ada apa, dia hanya menggeleng lalu menjawab I'm fine.

Lagi-lagi dia menyembunyikan masalahnya padaku.

Kalau saja pagi ini Setya tidak memberitahuku perihal itu, aku nggak akan tahu hingga akhir zaman nanti.

Bingung. Itu satu kata yang menggambarkanku sekarang.

"Oh, bagaimana kamu tau tentang itu Set?" tanyaku. Seharusnya aku jadi orang pertama yang mendengar masalah Carla. Tapi kenapa Setya yang tahu sedangkan aku tidak?

"Oh, Carla juga tidak cerita padamu?" tanya Setya. Aku hanya mengangkat bahu.

"Sabtu malam itu di SPI aku nggak sengaja menabraknya." Setya mulai menjelaskan. "Lalu aku mengajaknya ke Starbucks karena dia kelihatan kacau."

Aku menelan ludah dengan cepat. Ternyata begitu. Malam itu, seharusnya aku mengiyakan permintaannya meski dimarahi sekali pun.

Bodoh kamu Dev!

"Lalu dia cerita dengan detail tentang masalahnya itu." sambung Setya lagi. "Tentang pengakuan Naomi dan pertengkaran mereka di toilet.".

Aku menghela nafas dengan berat. Aku menumpu dahiku dengan tangan. Sekelibat penyesalan menyesak di dalam dadaku.

"Kemana kamu saat dia butuh Dev?"

JLEB

Pertanyaan yang baru saja dilontarkan Setya membuatku sesak. Tapi emang apa dayaku yang nggak bisa dapat izin dari Mama. Aku malam itu sudah minta izin, dan ujung-ujungnya aku diomeli habis-habisan.

Tanganku mengepal di atas meja.

"Dia terlihat sangat rapuh waktu itu."

"Dia tampak sangat sedih."

"Sepertinya dia sangat tertekan."

"Untung ada aku waktu itu. Jadi dia bisa cerita apapun dan setidaknya melegakan sedikit hatinya." Setya terus bicara beruntut tanpa henti. Seolah menyerbuku dengan kalimat yang membuatku menyesal.

"Dan beban di pundaknya berkurang."

Kepalan tanganku melemas. Aku menyesal. Sangat. Aku bodoh. Kenapa saat Carla butuh aku tidak ada. Padahal dia selalu ada untukku. Tapi apa daya.

"Oh iya, kalau aku nggak ada di sana mungkin dia pulang naik taksi." sambung Setya lagi, lalu terkekeh. Aku menautkan kedua alisku. Tak paham maksudnya.

"Dia tidak ada yang menjemput, jadi aku mengantarnya pulang."

"Kau tidak macam-macam padanya kan?" tanyaku dengan hati-hati. Sebenarnya aku cukup was-was kalau Setya dekat dengan Carla. Jujur saja aku takut kalau Carla sampai suka dengan Setya.

Setya menggeleng. Lalu tersenyum memperlihatkan sederet giginya yang rapi. "Tidak mungkin lah, aku nggak mungkin nikung teman sendiri." lalu dia tertawa. "Tapi beda lagi kalau Carla yang suka aku duluan. Hehe."

Aku menonjok lengannya pelan. Aku tahu dia bercanda, tapi ada kalanya aku takut bercandanya jadi kenyataan.

"Satu hal yang penting sekarang." ujarnya, kata-katanya digantung. "Kamu cepat minta maaf sama Carla. Bilang kalau kamu menyesal."

The Difference On UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang