15 | Can't Believe It

231 32 7
                                    

Carla POV

Sekali lagi, aku baca apa yang aku lihat. Berharap semua ini salah.

Tidak. Mataku tidak mengalami gangguan apa pun, tidak ada rabun jauh, rabun dekat, apalagi silinder. Tapi kenapa begitu terasa tak meyakinkan?

Kini mataku terselimuti air mata, terlihat buram. Aku sedih. Hatiku sakit sekali. Bahkan tampaknya aku terlalu berlarut atas kesakitanku, hingga aku tidak sadar bahwa pemilik ponsel ini sudah berdiri di samping.

Dia diam saja. Naomi. Dia diam saja menatapku dengan tatapan yang, entah tidak bisa dijelaskan. Aku merasa sangat sakit sekali. Ingin rasanya aku membanting ponselnya yang katanya berjuta-juta, tapi mengingat aku malas sekali jika disuruh ganti rugi.

Aku hanya diam saja. Perlahan tapi pasti, aku mulai terisak. Suasana di sini begitu mencekam, tak ada siapa pun selain kami berdua di toilet. Ini serasa seperti pemangsa yang akan melahap habis mangsanya.

Naomi masih menatapku dengan tatapan yang kini berganti dengan tatapan senang. Aku bergidik ngeri.

"Oh, jadi kamu buka-buka ponselku?" Nada suaranya meninggi, dan mendingin. Aku tak habis pikir mengapa dia melakukan ini semua padaku. Memang apa salahnya aku padanya?

Kau tahu maksudku tidak? Semua ini, pembullyan ini, ternyata orang yang aku anggap sahabat ini lah penyebabnya. Rupanya dia yang telah memberikan pertanyaan mengerikan tempo dulu.

Aku kecewa. Sangat kecewa.

"Kenapa kamu lancang banget sih?" tanya Naomi. Dia lalu merebut ponsel dan barang yang tadi dititipkan padaku dengan kasar. Aku masih tidak dapat berkata-kata. Kekecewaan ini membuatku bisu. "Sekarang lihat deh apa yang bakal terjadi akibat kelancanganmu sendiri."

Naomi menyeringai. Hatiku makin sakit melihatnya. Dikhianati sahabat sendiri, kau bisa membayangkan tidak bagaimana rasanya?

Aku masih saja diam. Naomi mendengus. "Sepertinya aku sedang berbicara dengan tembok."

PLAKK!

Dengan segenap keberanian, aku menamparnya dengan sangat keras. Meski pada akhirnya tangan kananku ini gemetaran, dan sekelebat penyesalan menyeruak di hatiku. Tapi, kalau aku pikir, aku nggak pantas menyesal. Karena kamu tahu kan, apa yang sudah dia lakukan padaku?

Aku pikir, kami memang sahabat.

Aku pikir, dia orang yang bisa aku percaya.

Aku pikir ...

Naomi tidak membalas tamparanku. Kini kulihat dia hanya diam dengan tangan kiri menangkup pipi kirinya yang aku tampar hingga memerah itu.

Aku merasa sangat dikhianati. Aku sangat kecewa. Saking kecewanya aku sampai nggak tahu harus berbuat apa, bereaksi semacam apa.

Apa aku harus memaafkannya? Dan menganggap perlakuannya padaku tidak pernah ada?

Atau

Aku harus menjauh darinya secepat mungkin, dan menganggap dia tak pernah ada dalam kehidupanku.

Aku menunduk.

"Aku .. nggak nyangka kalau kamu yang melakukan itu." ungkapku, dengan suara bergetar. Menahan tangis agar tak pecah.

"Yea. Tapi kamu lihat sendiri kenyataannya." terdengar Naomi menjawab dengan malas. Dia tertawa kecil, seolah meremehkanku.

Aku tidak mengenal orang di depanku ini.

Aku tidak mengenalnya. Dia bukan Naomi yang selalu menemaniku.

Dia bukan Naomi yang aku sayang seperti saudara sendiri.

The Difference On UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang