20 | Our (Broken) Destiny

200 24 9
                                    

Devian POV

Aku tengah duduk di sofa. Berseberangan dengan Carla yang sudah selesai mandi. Kini hanya hening yang menyelimuti kami. Tidak tahu harus berkata apa.

Dalam diam aku mengambil cangkir kopi yang sudah dingin dan tersisa seperempat. Aku menyesapnya pelan-pelan, menikmati pahitnya kopi yang terasa di lidahku.

Terus aku memikirkan kalimat dari Setya tadi. Entah mengapa sulit sekali melupakannya. Apa perlu aku menanyakan hal tersebut?

"Mmm Carla." Aku memanggilnya dengan ragu. Dia menolehkan wajahnya ke arahku. "Aku ... mau tanya sesuatu."

Kulihat satu alisnya menaik, "tanya aja kali. Ngapain juga pake minta izin kayak gitu." jawabnya diiringi dengan kekehan pelan yang terkesan dipaksakan. Aku hanya menatapnya dengan miris, dia bersikap tegar. Apa selama ini selalu begitu?

Aku menarik napas, lalu menghembuskannya pelan-pelan. Aku menatap tepat di mata Carla, supaya aku dapat tahu, dia berbohong atau tidak.

"Kamu, nggak pernah berpikiran capek pacaran sama aku?"

Ekspresi wajahnya berubah. Menjadi—ah entahlah bagaimana. Yang jelas terlihat shock dengan pertanyaanku.

"Ya.." kulihat dia meremas kedua tangannya. "Nggak lah."

Aku tersenyum tipis. Berbohongkah dia? Gestur tubuhnya menujukkan bahwa dia gugup. Bukankah gugup menadakan sebuah kebohongan?

"Kenapa? Kamu capek?"

"Entahlah." jawaban itu langsung keluar begitu saja dari mulutku tanpa aku pertimbangkan baik dan buruknya. Otak dan hatiku kini tidak sinkron lagi.

"Gitu ya. Pasti capek ya punya pacar yang bermasalah terus."

"Aku nggak bilang kalau aku capek."

"Jangan bohong." Dia tersenyum simpul. Sorotan matanya sendu menatapku.

"Aku nggak bohong." Aku menyandarkan punggungku di sofa, lalu melipat kedua tanganku di depan dada. "Aku cuma, kasihan sama kamu. Gara-gara pacaran sama aku kamu jadi diterori terus. Disakitin terus."

Dia terlihat seolah mencerna kata-kataku. Apakah kalimatku begitu sulit untuk langsung dipahami? Dan, Aku benar, bukan?

"Kenapa kamu mikir seperti itu?" tanya Carla. "Aku bahkan nggak pernah merasa seperti itu sedikit pun ke kamu." ucapannya tercekat. "Aku selalu berpikir kamulah penyelamatku karena tiap ada masalah aku selalu lari ke kamu."

Mataku tajam menatapnya, tiap satu pergerakan yang dia buat dapat aku lihat dengan jelas.

"Tolong jangan bahas melarikan diri." Dia mengangkat tangan kanannya, seolah mencegahku. "Kamu nggak tahu seberapa beratnya jadi aku."

Hei, padahal aku memang tidak berniat untuk membahas itu.

"Aku memang nggak tahu." Aku mengangkat bahuku, lalu membenarkan dudukku agar lebih tegap. "Tapi aku nggak selamanya ada buat kamu, Carla. Kamu nggak bisa bergantung sama aku terus."

"Memang kamu mau kemana?" tanyanya dengan suara parau. Membuat tenggorokkanku tercekat.

"Kan aku sudah bilang waktu itu, aku bentar lagi ujian nasional, lulus, nggak sekolah disitu lagi, udah masuk PTN. Dan itu pun kalau kita bisa satu PTN, kalau nggak, kita bakal jarang ketemu, Carla."

"Kamu mau masuk PTN mana? Aku bakal berusaha, Dev. Aku yakin kita bisa bareng-bareng lagi, aku bakal berusaha, Dev." pinta Carla, merengek. Seperti anak kecil.

Hhh aku sebenarnya ...

"Kenapa sih kamu gak bisa ngerti?" ucapku pelan. Sangat pelan, terkesan seperti berbisik. "Ya sudah, sekarang kamu mikir. Kalau kamu gak berbaikan sama teman sekelasmu, kamu selama 1 semester besok bakal kemana kamu kalau ada masalah, hm?"

The Difference On UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang