23. Only You (Climax) *1

558 22 1
                                    

Hari demi hari telah berlalu, kondisi ibu Ersa berangsur membaik setelah keluarnya dari rumah sakit. Terapi berjalan yang disarankan dokter juga diterapkannya dengan rutin. Jika dilihat sekilas, dapat disimpulkan bahwa semua dalam keadaan baik-baik saja.

"Hari ini kuliah jam berapa nak? Kok udah siang belum berangkat?"

Ah, kecuali untuk hal yang satu ini. Karena Ersa sendiri belum memberitahukan perihal beasiswanya yang dicabut semenjak kecelakaan yang terjadi pada ibunya. Ia tak ingin lebih membebani ibunya yang masih belum bisa menjalani aktivitasnya secara rutin karena masih harus memakai kursi roda.

"Hm..." Ersa yang baru saja menyelesaikan sarapannya, terlihat bingung untuk menjawab "Sebentar lagi bu, tunggu Fia jemput aja." benar, lagi-lagi hanya itu yang keluar dari mulutnya seperti beberapa hari yang lalu saat ibunya menanyakan hal yang sama.

"Nunggu Fia jemput lagi? Kenapa gak berangkat sendiri aja nak?" Ersa hanya meringis menanggapi pertanyaan itu.

Tok tok tok!

Perhatian keduanya teralihkan oleh suara ketukan pintu.

"Oh, itu sepertinya Fia bu. Ersa buka dulu ya." setelah mendapat anggukan singkat dari ibunya, Ersa langsung berjalan ke arah ruang tamu.
.
.
"Ya?" senyuman Ersa yang sebelumnya terpancar karena mengira tamunya adalah Fia, langsung memudar begitu saja saat melihat siapa yang datang.

"Ersa." suara berat sang tamupun menyapanya.

"Fia udah jemput ya Sa?" itu suara ibu yang menyusul ke ruang tamu "Oh? Nak Afid?"

Mendengar namanya disebut, Afid langsung tersenyum dan mengangguk ramah "Pagi bu."

"Pagi nak Afid." balas ibu juga penuh sanyum "Sa, kenapa gak disuruh masuk? Ayo nak Afid, masuk." ibu kembali memutar roda kursinya untuk mendekat ke arah pintu, namun...

"Bu." Ersa membalikkan badannya dan membuat ibunya berhenti memutar roda "Ersa berangkat sekarang aja." ucapan itu membuat Afid menatapnya "Fia kayaknya enggak bisa jemput hari ini. Ersa berangkat ya bu." tanpa banyak bicara lagi, Ersa langsung mencium punggung tangan dan kedua pipi ibunya, untuk berpamitan.

"Oh, kamu bareng sama nak Afid ya hari ini? Ya sudah kalau gitu, hati-hati ya nak." Ersa hanya menampakkan senyumnya saat mendengar kalimat itu, dan melangkah pergi meninggalkan Afid yang masih berdiri di depan pintu.

Sedangkan Afid sendiri hanya mampu menghembuskan nafas pasrah dengan perlakuan Ersa terhadapnya. Ini sudah kesekian kalinya Ersa bersikap dingin padanya, dan ia tak tau kenapa. Karena setiap ia bertanya, Ersa tak memberinya jawaban yang jelas. Ah, ternyata keadaan memang belum baik-baik saja.

"Nak Afid kok masih di sini? Enggak kuliah?" dan pertanyaan ini juga, termasuk keadaan yang tidak baik-baik saja. Karena selama ini, ibu Ersa hanya tahu jika Afid memang sebaya dengan Ersa. Tidak dengan umur aslinya.

"Ah, iya bu. Afid berangkat." tanpa banyak bicara lagi, Afid langsung mencium punggung tangan ibu Ersa dan melangkah pergi menyusul Ersa.
.
.
"Ersa!" panggil Afid setengah berteriak, karena Ersa yang terus berjalan tanpa menoleh ataupun menunggunya barang sedetikpun.

"Ersa! Tunggu aku!" langkah kaki Ersa semakin cepat seiring dengan teriakan Afid yang berulang kali terdengar. Sepertinya Ersa benar-benar ingin menghindar dari pria itu.

"Aish!" Afid mengacak rambutnya kesal.

Jika ini terus berlanjut, ia akan merasa sangat tidak nyaman untuk menjalani hidupnya.

Hingga akhirnya Afid memilih untuk berlari mengejar Ersa, dan menahan pergelangan tangan gadis itu agar berhenti dan mendengarkannya bicara.

"Aku ingin bicara denganmu." ucap Afid setengah terengah, setelah berhasil membalikkan tubuh Ersa menghadap ke arahnya.

Only YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang