A/N : Beberapa readers tanya, 'Bukannya Runa udah mati?'
Nah ini bonus chapter alias bonchap, ini cerita-cerita sebelum Runa meninggal, momen-momennya sama Edward :)
Khusus chapter ini pake sudut pandangnya Ed, ada mode flashbacknya. Kalo bingung tanya aja ya :)Happy reading!
***
Edward's POV
Harry Edward Styles.
Nama yang selalu menjadi pertanyaan bagiku ketika mendengarnya.
Nama dengan sosok orang yang sangat berharga sebagai pemilik nama itu.Kadang aku bingung kenapa mereka menamai aku dengan nama tengahnya. Mungkin mereka ingin memberikan 'kespesialisan' khusus untuknya, seperti biasa.
Sejak kecil Harry selalu menang. Bukan berarti aku benci padanya, tidak. Dia sadar bahwa mereka memberi perhatian khusus padanya, sehingga dia mendekatkan dirinya denganku.
Tapi aku tidak suka dengan perlakuan it seolah-olah aku patut dikasihani. Tidak. Aku tidak suka tatapan mereka saat melihatku, tatapan mengasihani.Tapi lama kelamaan Harry tidak menatapku dengan cara seperti itu. Dia menatapku dengan tatapannya yang biasa, dan itulah yang aku harapkan.
Bisa dibilang aku dan Harry sangat dekat saat kami berusia enam tahun. Sebelum itu aku adalah anak kecil kesepian yang merasa kesal dengan lingkungan sekitarnya, tapi Harry merubah semua itu. Dia menjadikan hidupku lebih berwarna. Tahun-tahun sebelum itu, aku jauh lebih dekat dengan Gemma dan Ayah daripada dengan dia dan Ibu.
Aku masih ingat dulu, saat aku masih berusia lima tahun, Ayah membawaku ke rumah teman lamanya. Saat aku besar, barulah aku tahu kalau teman lamanya itu ternyata adalah mantan istrinya.
Di rumah teman lamanya itu, yang kuingat adalah taman belakang dengan boks berisi pasir, dan gadis berambut coklat yang asyik bermain sendiri. Aku tahu aku masih kecil saat itu, tapi aku tahu dia cantik.
"Ed, kau mainlah dulu dengannya. Ayah akan bicara dengan Tante Cathrine sebentar." Kata-kata ayah masih kuingat, dan aku mengangguk. Aku berjalan dengan santai ke arahnya, dan sampai detik ini, aku masih bingung kenapa aku mengingat semua kejadian itu.
"Hei." Aku menyapanya, dan dia mengangkat muka. Wajahnya sedikit kotor karena pasir, tapi tetap saja dia tampak cantik.
"Hai! Kau mau main?" Dia tersenyum lebar, menampakkan gigi rengasnya, dan aku tertawa.
"Gigimu copot ya?" Aku menunjuk ke arah dua gigi depannya yang bolong, membuat jendela besar di mulutnya. Awalnya kupikir dia akan menangis, karena beberapa teman kelasku di sekolah menangis ketika aku mengatakan itu. Tapi tidak, dia tertawa.
"Ya! Ibu bilang itu karena ibu peri ingin menukarnya dengan yang lebih bagus!" Dia tertawa lebar, dan aku terdiam. Aku tahu aku masih kecil saat itu, tapi aku tertarik padanya.
"Kau main apa?" Aku berjongkok, masih di luar boks pasirnya.
"Ini ada Tawni, Rockie, dan Marsha!" Dia menunjukkan tiga boneka unicorn padaku, dan setelah itu, kami bermain bersama. Aku tidak tahu apa sebabnya aku menerima ajakan itu begitu saja, padahal kata ayah aku termasuk anak yang sulit bersosialisasi. Tapi dengannya, semua berubah.
Hari berganti hari, aku makin sering bermain ke rumahnya. Rumah Paman Quentin dan Tante Cathrine. Aku juga sering bertemu dan bermain dengannya, Runa Isabella Blackburn-ku, api kecilku.
"Kalian berdua kenapa kotor begini??" Itulah kata-kata Tante Cathrine ketika melihat keadaanku dan Runa yang pulang dengan pakaian kotor dengan lumpur.
"Tawni jatuh ke kubangan lumpur dan aku mencoba mengambilnya, tapi Runa malah ikut." Aku menjelaskan, sementara Runa hanya menunduk di sebelahku, dia masih sesenggukan.
"Baiklah, ayo masuk, kalian harus mandi." Aku mengambil tangan Runa, karena dia tidak masuk juga saat pintu sudah terbuka lebar. Dia masih menangis karena kaki Tawni sobek. Boneka unicornnya itu dibuat dari kain, dan ketika aku mencoba mengambilnya di kubangan itu, dia robek.Kami masuk ke kamar mandi bersama. Aku suka tertawa ketika mengingat hal itu. Tapi kami masih polos, tidak tahu apa-apa. Hanya duduk tanpa pakaian di dalam bathub sambil bermain bebek mandi.
"Kami berendam saja dulu, Tante Cath main di luar!" Aku mencipratkan air ke arah Tante Cath, dan dia keluar sambil tertawa.
"Runaa, ayolaah, senyummm!" Aku menyipratkan air ke arah Runa, tapi dia malah menangis. Aku paling tidak suka melihat anak perempuan menangis. Soalnya mereka menangis karena alasan yang tidak jelas. Lalu mereka memakan waktu yang lama untuk meredakan tangisnya.
"Runa kalau kau menangis kucium loh." Aku mendekat ke arahnya, tapi dia tetap menangis. Tiba-tiba saja Tante Cath masuk, dengan sebuah benda di tangannya. Kalau tidak salah itu kamera namanya. Aku pernah liat Harry memainkan itu di rumah.
"Ohh ayolah, jangan menangis Runa." Tante Cath mengusap punggungnya, tapi dia tetap menangis. Aku bingung harus melakukan apa, tapi yang kuingat, Ibu selalu memelukku kalau aku menangis. Ya, aku pernah menangis. Jadi itu yang kulakukan.
"Runa, aku benar-benar akan menciummu kalau kau tetap menangis." Aku merasa kesal karena dia tidak kunjung diam, dan tidak mengatakan apapun juga, padahal sudah kupeluk. Apa maksudnya ini.
Aku tidak tahu apa maksud di balik mencium, jadi yang kulakukan adalah menempelkan bibirku di bibirnya. Ajaibnya, setelah itu Runa diam.
"Nah. Akhirnya kau diam." Aku tersenyum bangga, dan Runa hanya menatapku. Setelah itu Tante Cath hanya tertawa melihat kami, sebelum mengangkatku keluar dari bathub, begitu juga dengan Runa.
Hari-hari kami berlalu dengan seru setelah itu. Tapi aku tidak pernah melihatnya lagi setelah aku berusia 7 tahun, aku lupa kenapa.
Harry selalu bertanya-tanya kemana aku pergi ketika kami pulang sekolah, karena kami dijemput bersama, tapi aku tidak langsung pulang.
"Rahasia." Itulah yang selalu kukatakan kepadanya dulu.
Sekarang, aku tidak menyangka, bahwa gadis kecil itu juga yang kini ada dalam pelukanku, di bawah terangnya langit malam. Mungkin ini terdengar sangat klise, tapi aku senang bisa bertemu dengannya lagi, walaupun dia menjadi milik Harry, bukan milikku.
Aku memang kesal pada Harry, dia selalu menang banyak, tapi dia layak mendapatkannya. Aku tahu aku tidak punya kesempatan untuk mendapatkan Runa, setidaknya untuk sekarang. Tapi siapa tahu itu akan berubah dalam beberapa tahun ke depan, waktu kami masih banyak.
Yang jelas, aku bersyukur bisa bertemu dengannya lagi, Runa Isabella Blackburn kecilku, Runa yang selalu bersemangat tapi kadang cengeng kalau menyangkut mainannya.
Harry memang menang banyak dariku, tapi dia perlu tahu, kalau first kiss dari kekasihnya itu aku, bukan dia.
Aku yang duluan bertemu dengan Runa, bukan dia.
Mungkin terdengar agak egois, tapi tak apa kan Haz?
Aku tidak marah pada Harry atau siapapun, mungkin aku memang terlambat mengambil langkah padahal aku bertemu dengannya saat balapan pertama kami dulu.
Yang jelas, aku bersyukur bisa bertemu denganmu lagi, Runa Isabella Blackburn, Putri Kecil Penunggang Tiga Unicorn.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take You Home [Sequel To NEY]
FanficRuna kini sudah berada dalam masa-masa kuliahnya, sendiri. Harry memang sudah tidak ada, tapi permintaan Harry akan selalu diingatnya, untuk menemukan Edward. Masalah pertama sudah diselesaikan, Runa berhasil menemukan pria itu. Tapi maukah Edward...