Sick Day

22 2 0
                                    

2nd May 2016 on 15.11 PM

Hachi...

Strup...

Aku melihat tempat sampah kecil yang berisi tisu yang kuhabiskan hanya untuk lendir yang satu ini.

Kadang aku cukup kesal. Tapi ini salahku sendiri. Aku tidak memberitahu John. Tapi jujur makanannya enak sekali.

Aku melihat cangkir yang sedikit besar berisi Teh Panas yang sedikit manis yang ada di depanku. Uap panasnya membuatku mulai lega dengan lendir itu.

Aku mengambilnya dan mulai meminumnya. Lucunya... Aku tidak meniupnya.

Srup...

Glek glek glek...

Ah...

Tuk...

Aku meletakkan cangkir itu di atas meja. Dan aku mengambil buku catatanku.

Aku coret rencanaku hari ini, yaitu mandi dengan air dingin. Dan mengubahnya menjadi mandi dengan air hangat.

Kemudian menjelajahi hutan terlarang menjadi tidur.

Untuk besok, menulis cerita menjadi olahraga.

Lalu, mencari minuman segar menjadi mencari minuman yang panas.

Pokonya semua hal yang berhubungan dengan dingin, tidak penting, dan yang tak bisa kujalankan, ku ubah semuanya.

Hm. Rencanaku batal semua dan John tidak akan membiarkanku mencari nafkah.

Hebatnya diriku hingga semua pekerjaan orang dewasa harus kulewati dengan makan, minum, mandi, tidur. Makan, minum, mandi, bermain, tidur. Terus saja seperti itu.

Aku rindu pekerjaanku. Aku rindu akan kerja kerasku. Aku rindu diriku yang sangat bersemangat.

Erenna, apakah hanya itu yang dimintanya?

Tok tok tok....

Ng?

"Masuk saja. Pintunya tidak dikunci."

Ckrek...

"Bisakah kita pergi ke dokter segera, Tuan Lord?"

Aku melihat pintu yang terbuka oleh seorang kakek yang berjaket hitam

"Oh... Kakek. Kenapa tiba-tiba?" Tanyaku

"Maaf, Tuan. Aku merahasiakannya."

Aku berdiri dari kursiku dan menghampiri kakek.

"Jangan begitu. Aku jadi ingat ayah."

"Baiklah. Lebih baik kau mencuci wajahmu itu dan sedikit membersikan diri. Aku akan menunggumu."

"Baiklah."

Skip....

Aku keluar dan melihat kakek yang menunggu di luar. Beliau melihat halaman yang penuh dengan keluargaku yang sedang berlatih.

"Kakek,"

Kakek melihatku dan tersenyum.

"Good, my handsome boy. Now let's go."

Aku dan kakek pergi meliewati pintu belakang.

"Kau memang lemah, anakku. Kau harus contoh mereka. Siapa tahu saja tubuhmu bisa menjadi fit dan kau tidak akan sakit lagi." Kata Kakek

"Mungkin saja. Tapi... Selama ini aku hanya ingin satu." Kataku

"Apa itu?" Tanya Kakek

"Aku hanya ingin sembuh untuk bisa bekerja."

"Oh... Itu baik sekali. Lakukan saja." Kata Kakek

Aku menggeleng pelan

"Eh... Mengapa?"

"Tidak bisa. John telah melarangku."

"Ah... John. Kalau begitu... Turuti saja dia. Dia hanya ingin membuatmu bahagia."

"Memang itu yang dia mau. Aku tidak akan lupa dengan itu."

Kakek berhenti di samping mobil hitamnya.

"Masuklah."

Aku mengangguk dan membuka pintu mobil bagian belakang dan masuk ke dalamnya. Kemudian ku tutup pintunya dan kita berangkat.

Mobil ini sudah seperti mobil normal. Tapi mengapa dulu kakek menutup semua jendela dengan sesuatu yang berwatna hitam?

"Zaide, kau buka jendela saja. Aku tidak menyalakan pendinginnya."

"Ok."

Aku membuka jendela yang ada di samping kananku dan kurasakan angin yang kencang mengayun rambut pirangku ini. Begitu segarnya udara ini.

"Zaide, maafkan aku dan Tasya. Sebenarnya aku sudah memberitahunya sejak ia datang. Kau tahu? Aku senang saat menemuimu. Rasanya... Seperti aku bertemu Arieze."

"Itu sudah kumaafkan, kek. Aku juga minta maaf soal tadi pagi. Tapi... Jika Anda ingin... Anda bisa memanggilku Arieze jika Anda mau. Aku tidak keberatan."

"Sungguh?"

"Ya. Aku bersungguh-sungguh... Ayah."

"Aku... Aku sungguh bahagia. Terima kasih, Zaide."

"Sama-sama."

Aku tersenyum bahagia. Dan aku harus mulai belajar untuk menjadi seorang anak bagi nenek dan kakek. Aku harus belajar menjadi Arieze.

Arieze, maafkan aku. Tapi... Aku akan mencoba untuk membahagiakan ayah dan ibumu.

My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang