Grandpa Foregin Part 2

17 2 0
                                    

"Kau juga harus membantuku. Bangunlah, nak. Ku mohon. Aku tidak bisa melihatmu begini terus. Kau adalah pengganti anakku, Arieze."

Ku turuti perkataan kakek dan terbukalah mataku ini.

"Ka... Kakek..."

Kakek mengangguk pelan melihatku yang mungkin masih begitu lemah.

"Zaide, berjuanglah. Ini untuk dirimu. Kau sudah terlalu lama berada disini. Dan aku ingin kau untuk bisa kembali pada keluargamu."

Aku hanya melihat Beliau. Air mata mulai terlihat diwajahnya. Air itu jatuh dan membasahi wajahnya.

"A... akan kuusahakan."

Aku terus melihat Beliau.

"Jangan-jangan... Dia... Adalah pembunuhnya!"Kata Dokter dengan kencang

Kakek melihat dokter itu.

"Bodoh. Tentu saja bukan dia. Kita tidak akan tahu akan hal itu. Pembunuhnya masih misterius."Kata kakek yang kemudian melihatku

Akulah Sang Korban.

Korban dari ketidakamanan,

Kesedihan,

Kemarahan,

Kejahatan,

Segalanya ada padaku.

"Baiklah. Aku akan memikirkannya lagi. Selamat sore, Tuan Foregin."

Dokter itu keluar dan kakek terlihat pasrah.

"Maafkan aku. Aku hampir membocorkan segalanya. Aku tak tahan melihatmu.

"Aku tak bisa menahan tangis hanya karena kelemahan seseorang yang spesial dalam hidupku!

"Ku mohon. Ku mohon. Jangan pergi, Zaide."

Seketika mimik berubah. Diriku menjadi sedih setelah mendengar Beliau.

Aku tak dapat berkata-kata lagi. Kakek begitu sedih hingga Beliau kembali menangis.

Tampak sebuah penyesalan dari dirinya yang telah membuat hidupku tak terkendali.

Sebuah penyesalan sejak aku berusia 8 bulan. Penyesalan itu tak pernah berhenti.

"Sebuah tragedi membuatmu berubah. Dan mungkin kau sudah mengetahuinya. Aku selalu lupa apakah aku sudah memberitahumu atau belum. Tapi... Biarkan aku bercerita.

"Sebuah cerita yang dikisahkan seorang guru terkenal di Desa Grenisa, Oril Lord mengatakan bahwa sebuah penculikkan membuat anaknya berubah.

"Berawal dari sebuah perjalanan menuju Desa Acy yang penuh dengan keindahan, berubah menjadi tragedi bagi Tuan Lord dan istrinya Sania Dealiana.

"Mereka menaiki sebuah kereta bergerbong 5 bersama anak mereka, Ereane Zaide Lord. Tapi mereka lebih suka menyebutnya Zaide Lord. Usianya masih sskitar 8 bulan dan mereka berangkat sebelum tahun baru.

"Dalam perjalanannya yang amat tenang dan damai, mereka menikmati angin yang sejuk sambil melihat anak mereka yang tidur dalam pangkuan Sang Ibu.

"Saat tiga anggota keluarga ini tidur, seseorang datang dan mengambil anak mereka. Tuan Lord terbangun dan bingung tentang keberadaan anaknya itu.  Beliau berlari mencari anaknya. Tapi tak kunjung ketemu.

"Istrinya sangat khawatir hingga seseorang mengatakan bahwa anak mereka dibuang dari pintu gerbong belakang.

"Akulah yang menemukannya, merawatnya, dan juga mengobatinya. Saat ini ia mulai masuk ke zona dewasa dan... Ia berada disini. Mendengarkan ku yang bercerita."

Aku masih melihat Beliau yang menangis selama bercerita. Kuukir senyuman dari wajahku. Mungkin itu bisa menghiburnya.

"Tersenyumlah selagi kau bisa. Aku 'kan selalu melihatmu tersenyum sampai akhir. Maafkan aku, Zaide. Kali ini aku tidak bisa membantumu. Aku takut rahasia kecil kita terbongkar dan kau tak akan bisa pulih karena mereka takut padamu.

"Para dokter sudah kubuat lupa akan dirimu yang menyerangku waktu itu. Aku hanya berusaha membantumu menutupi rahasia kita. Kita sudah tahu bahwa keluarga kita sudah tahu akan kita. Bagaimana aku bisa bersama Sang Inspirasi Hidup sampai melihatmu... Aku sangat menyesal, Zaide.

"Yang kutakutkan saat ini adalah... Kehilanganmu. Aku takut kehilanganmu, Zaide. Aku benar-benar takut. Aku takut akan kemarahan keluargamu. Aku akan menyesal saat tahu dirimu akan hilang dariku.

"Kau begitu sempurna bagiku. Kau adalah sumber ilmu bagiku. Dirimu membuatku tahu akan keluarga dan... Perjuangan. Ajari aku. Ajari aku agar semakin baik, Zaide."

Aku memejamkan mataku. Menghindar dari sebuah tangisan seorang kakek yang bicara panjang lebar. Terasa setetes air mata keluar dari mata kananku. Meluncur ke pipi dan jatuh di atas bantal.

Aku tak bisa melihat seseorang menangis karena diriku. Apalagi di saat aku tak ingin bicara. Diriku ini hanya bisa terdiam dalam kegelapan dan suara tangisan.

Aku kembali membuka mataku. Kutatap mata Sang Penyembuh berbaju putih yang merah karena terlalu lama menangis. Pupil hitamnya juga menatapku seakan tatapannya begitu kosong.

Entah apa yang Beliau pikirkan, aku hanya tahu satu.

Aku akan pergi.

Itulah yang kuketahui.

My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang