Aku memandang kosong jendela kamarku yang basah setelah hujan turun. Panas yang menjalar dari gelas cappuchino yang ku genggam, seakan tidak menembus dan tetap membuat tanganku membeku kedinginan. Apakah sesakit ini rasanya? Perpisahan ini? Ku kira aku bisa menerimanya, tetapi tubuhku membuatku menyadari bahwa aku tidak baik-baik saja. Benar-benar tidak baik-baik saja.
*FLASHBACK*
"Lea, lebih baik kita sampe disini aja." ucapnya yakin. Raut wajahnya mengatakan bahwa dia tidak main-main.
"Fa....ka-kamu serius? Kamu bercanda kan? Ya kan Alfa?" tanyaku tak percaya. Ku raih tangannya dan menatapnya dengan getir.
"Le, aku ga bercanda. Minggu depan aku harus pergi ke New York buat lanjutin kuliah aku, dan aku gak mau jalanin LDR. Aku udah pikirin ini sejak lama dan menurut aku ini pilihan yang tepat." perlahan ia menarik tangannya dariku dan melipatnya depan dada. Tatapannya datar, berbeda dengan tatapan hangatnya yang selama ini selalu ia tunjukkan kepadaku. Apakah ia benar-benar ingin mengakhiri semua? Hubungan yang sudah kami jalani cukup lama?
"Tapi fa, kita udah jalan 3 tahun. Itu waktu yang ga sebentar buat kita paham satu sama lain. Dan apa salahnya dengan LDR? Kita masih bisa kontakan kan?"
"Lea please. Aku ga mau bawa beban saat aku kuliah disana. Aku cuma ingin fokus belajar." jelasnya dengan suara datar dan terlihat seperti sudah dirancang sebelumnya. Ingin fokus belajar, alasan klise.
"Beban? Jadi selama ini aku beban buat kamu fa?" aku menundukkan kepalaku dan menahan mati-matian air mata yang sudah menggenang.
"Buka begitu Azalea. Tapi ini saatnya aku untuk mulai rancang masa depan aku dan aku harap kamu juga bisa sepemikiran sama aku. Kita udah harus dewasa le, kita ga boleh egois. Aku harap kamu ngerti." aku mendongakan kepalaku dan mencoba mencerna kata-katanya.
Ia terlihat tergesa melihat gerak-geriknya yang terus menengok jam yang melingkar di tangan kirinya sedari tadi. Sebegitu ingin cepatnya berpisah dariku? Eh?
"Aku gak tau kalo kamu bisa berpikir seperti itu. Mungkin aku emang ga pantes buat dipertahanin dan bisa kamu lepas gitu aja. Maaf jika kamu benar-benar merasa aku cuma jadi beban. Aku harap kamu bisa berhasil sama kuliah kamu dan bisa mendapat kebahagiaan kamu." ujarku susah payah. Dengan segala emosi yang aku rasa sekarang rasanya aku hanya ingin menghilang dan menangis sepuasnya.
"Le..."
"Fa, aku duluan ya, jujur aku gabisa diam disini tanpa nangis depan kamu. Aku terlalu shock dengan apa yang terjadi barusan. Terimakasih untuk segalanya" aku bangkit dari kursiku dan mencoba berjalan menuju pintu keluar cafe ini sebelum kata terkahirnya membuatku terdiam.
"Maaf"
*Flashback end*
Alfaro Jonasia Gelvanno. Laki-laki yang sudah menjadi pacarku sejak aku memakai seragam putih abu-abu ini seakan sudah menjadi pusat duniaku, dimana aku selalu membutuhkannya, ingin selalu menatapnya, memeluknya, dan menghirup oksigen di sekitarnya yang membuatku tak berhenti merindukannya. Keputusannya untuk pergi ke New York memang sudah kami bicarakan sebelum kami dinyatakan lulus. Sebelumnya dia tidak pernah membahas serius soal ini, apalagi soal membubarkan hubungan kami. Kata-katanya tadi siang bagaikan petir di siang hari, bagaikan mimpi yang tidak ingin aku jadikan kenyataan.
Aku hirup cappuchino-ku dan ku kecap rasa pahitnya di lidahku. Apakah hidupku akan menjadi pahit juga tanpa Alfa disisiku?
to be continue
------
Author says:
Kepikiran buat bikin cerita dan stuck disini XD Gatau deh ide liar tiba-tiba bikin gatel pengen ngetik *abaikan
thanks for reading^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Do Men Cry?
Teen FictionPerpisahan mana yang tidak memberikan rasa hampa? Setidaknya rasa kehilangan itu pasti terasa tanpa disadari. Azalea baru saja berpisah dengan Alfaro yang pergi melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Ternyata benang merah sudah menyatukannya deng...