"Lea kamu mau kemana sayang? Loh kok nangis? Kenapa? Ada apa?" Mamah memberondongku dengan berbagai pertanyaan saat aku kembali dari toilet yang berniat untuk langsung menuju pintu keluar butik. Aku menggeleng dan tetap menangis. Mamah memelukku dan mengusap punggungku
"Kamu kenapa sayang? Ada berita duka? Atau apa?" tanya mamah lagi, khawatir. Aku kembali menggeleng.
"Aku mau jalan sendiri dulu ya mah." Aku melepaskan pelukan mamah dan berjalan menuju pintu keluar tanpa menunggu jawaban. Aku berlari dengan air mata yang terus turun sampai taxi berhenti di depanku. Setelah memberitahu tujuanku kepada sopir taxi, aku kembali menangis mengingat apa yang baru saja ku ketahui.
Bagaimana mungkin aku bisa percaya pada Raka kalau ia benar-benar baik padaku? Ia sudah cukup kejam dengan melakukan hal 'itu' dengan Claudie sampai ia hamil. Aku juga perempuan dan aku mengerti bagaimana perasaan Claudie, maka dari itu aku tak bisa sepenuhnya menyalahkan dia. Lebih parahnya adalah aku akan bertunangan dengan Raka beberapa hari lagi. Bagaimana ini?
Taxi berhenti di depan sebuah rumah yang beberapa hari lalu aku datangi. Sebelum aku turun, aku meminta sopir taxi untuk menuggu, toh tujuanku kesini hanya ingin mengkonfirmasi saja. Aku membenahi penampilan agar tidak terlihat kalau aku baru saja menangis. Aku berjalan menuju pintu dan menekan belnya. Sekarang aku bisa melihat ukiran-ukiran unik di setiap sudut pintu itu tapi tak cukup berarti untukku memperhatikan lebih detail. Setelah 3 kali memencet bel, pintu itu pun terbuka dan terpampanglah wajah itu yang terlihat terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba.
"Zel, lo dateng? Sama siapa?" Raka menengok ke belakangku melihat apakah aku datang sendiri atau dengan orang lain.
"Gue sendiri" jawabku dingin "dan ada yang pengen gue omongin"
"Serius banget kayaknya, yaudah yuk kita ke halaman belakang aja biar lebih santai." aku mengikuti Raka melewati jalan setapak yang kemarin aku dan Reza lewati. Halaman belakang rumah Raka masih sama seperti waktu itu, hanya saja sekarang tidak ada meja besar di tengahnya dan digantikan dengan kursi santai yang terlihat nyaman.
"Lo tunggu disini ya, gue ambil minum dulu."
Buru-buru aku mencengkal lengan Raka dan menyuruhnya untuk ikut duduk bersamaku.
"Ga usah Ka, gue juga ga lama."
Raka mengerutkan alisnya, "Emang ada apa sih? Penting banget yang mau dibahasnya?"
"Penting engganya sih gue gatau. Menurut lo kalo nyangkut Claudie gimana? Penting atau engga?" tanyaku to the point.
"Maksud lo? Emang kenapa sama Claudie?" tanya Raka bingung. Aku mendengus keras saat mendengarnya. Aku tidak bisa membedakan apakah dia sekarang sedang pura-pura tidak tahu atau benar-benar tidak mengerti ke arah mana aku bicara.
"Lo ga punya apa-apa untuk diceritain ke gue? Misal hubungan lo sama dia?" serangku lagi. Raka membelakakan matanya dan menatapku tak mengerti.
"Gue bener-bener ga ngerti lo ngomong apa. Yang jelas gue sama Claudie ga ada apa-apa, oke?" Raka mencoba memegang tanganku tapi langsung ku tepis.
"Lo ga akan ngasih tau gue? Atau mau gue beberin aja?" ucapku emosi. Dia benar-benar menguras energiku untuk masalah ini.
"Zel, maksud lo-"
"Clauide hamil anak lo kan?" aku memotong ucapannya yang kuyakini pasti masih akan berpura-pura tak mengerti. Raka terlihat sangat terkejut lalu memijit pelipisnya. Ia menatapku lama sebelum ia berteriak frustasi.
"Darimana lo tau?" tanya Raka. Auranya kini terasa kelam dan menakutkan, tapi aku berusaha untuk tetap tenang dan tidak terlihat terintimidasi oleh sikapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Do Men Cry?
Teen FictionPerpisahan mana yang tidak memberikan rasa hampa? Setidaknya rasa kehilangan itu pasti terasa tanpa disadari. Azalea baru saja berpisah dengan Alfaro yang pergi melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Ternyata benang merah sudah menyatukannya deng...