LEA POV
Aku berjalan menuju halaman belakang dan duduk disamping opa di kursi santai . Opa terlihat menerawang entah memikirkan apa. Aku memerhatikan awan yang bergerak perlahan dan tersenyum karena cuaca hari ini begitu cerah.
"Maafkan opa Lea." suara lirih opa memecahkan kesunyian. Aku menggelengkan kepala dan menggenggam tangan opa.
"Untuk apa opa? Lea baik-baik saja." Opa ikut tersenyum tetapi matanya menatapku sedih.
"Opa terlalu egois kepadamu........dan juga Raka."
"Tidak opa. Jangan menyalahkan diri sendiri seperti itu. Ini sudah menjadi takdir."
"Kau benar. Semoga ini bisa menjadi pelajaran untuk kita. Opa sayang sekali padamu."
Opa memelukku yang kusambut dengan hangat. Aku tau opa lebih bersedih daripadaku. Bagaimanapun Opa dulu sangat dekat dengan Raka dan menganggap Raka sebagai cucunya sendiri. Aku menepuk pelan punggung opa, memberi semangat.
"Lea juga sayang sama opa."
&&&&&&&&&&&&&
Setelah beberapa lama aku menemani opa di halaman belakang, aku ditelfon Sabila yang memintaku menemaninya membeli sesuatu. Entah apa karena aku tidak terlalu bisa mendengar kata-katanya yang secepat kereta express. Jadi disinilah aku, dicafe dekat mall tempat janjianku dengan Sabila.
"Eh sorry sorry, tadi jalan macet banget." brondong Sabila saat sampai dihadapanku. Tanpa permisi ia menyedot habis minumanku dengan terburu-buru. Aku menggelengkan kepala melihat tingkah sembrononya.
"Pelan-pelan aja napa? Gaya lo plis kayak tante rempong telat arisan." sindirku.
"Hehehe ga rempong ga asik dong."
Aku memutar bola mata.
"Jadi sekarang kita kemana?"
"Hmm, kita nyari peralatan bayi buat tante gue yang baru lahiran."
"Oh oke."
Saat aku akan berdiri, Sabila menahan lenganku dan menyuruhku untuk duduk kembali.
"Eitttsss jangan pergi dulu."
"Emang mau ngapain lagi sih?" tanyaku bingung.
Sabila menatapku dengan puppy eyes yang kubalas dengan pandangan jijik.
"Gue laper belum sarapan. Makan dulu yah pelisssss."
"Jaaaah, yaudah makan dulu sana." kataku sambil menahana tawa.
&&&&&&&&&&&&&&&&&
"Baju?"
"Cek!"
"Peralatan mandi?"
"Cek!"
"Kaus kaki?"
"Cek!"
"Topi?"
"Cek!"
"Peralatan makan?"
"Ce- Oh Nooooooo! Bentar bentar Le! Kok ga ada? Perasaan tadi gue taro disini deh, eh apa gue taro di kantung yang ini ya? Eh tapi ga ada juga. Yaaah kayaknya ketinggalan di tokonya deh."
"Duh lu tuh ya ceroboh banget. Udah ambil dulu sana, gue tunggu disini."
Sabila nyengir kuda dan memberikan belanjaannya kepadaku.
"Nitip dulu ya."
Aku hanya menggumam, tanda mengiyakan.
Aku menduduki kursi yang disediakan dan menaruh belanjaan itu di samping kanan kiriku. Aku meluruskan kedua kakiku yang pegal menemani Sabila masuk keluar toko demi mencari barang barang keperluan bayi yang akan dia jadikan kado. Kadang aku menyesal mengiyakan ajakannya berbelanja karena sudahnya pasti tubuhku seakan remuk dan kakiku akan pincang selama beberapa hari saking pegalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Do Men Cry?
Teen FictionPerpisahan mana yang tidak memberikan rasa hampa? Setidaknya rasa kehilangan itu pasti terasa tanpa disadari. Azalea baru saja berpisah dengan Alfaro yang pergi melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Ternyata benang merah sudah menyatukannya deng...