Seminggu berlalu setelah kejadian menyakitkan itu. Walaupun aku mencoba untuk ceria tetapi tetap saja rasanya seperti ada yang hilang. Kadang aku tidak sadar sedang melamun dan membuat Reza makin khawatir dengan keadaan ku.
"De, yok berangkat" ajak Reza. Aku tersadar dari lamunanku, yang sepertinya sudah menjadi kebiasaan.
Hari ini aku dan Reza akan menjemput papah dan mamah dari Jerman di bandara.
"Oh eh iya Za, yuk"
Selama perjalanan menuju bandara, hening menyelimuti kami. Aku sama sekali tidak berminat untuk membuka percakapan dan untungnya Reza berpikiran sama sehingga aku tidak harus pura-pura ceria. Karna bosan aku menyalakan radio dan jatuh terlelap.
"De bangun, udah nyampe nih." kurasakan pipiku ditepuk pelan dan sayup suara Reza membangunkanku.
"Hm..."
"Jigong lo tuh meleber kemana-mana" Reza melemparkan tisu basah kepadaku.
"Gue ga jigongan kali, ga kayak elo peak." sungutku tidak terima.
"Hahahaha udah ah yu buruan." Reza turun dari mobil dan aku segera menyusulnya. Saat sudah sampai pintu kedatangan, ternyata pesawat yang membawa mamah papah baru akan landing setengah jam lagi. Akhirnya Reza mengajakku ke cafe di dekat bandara.
"Saya pesen espresso double shot ya mba" kataku menyebut pesanan pada pelayan cafe setelah kami duduk di salah satu sudut cafe bergaya minimalis ini.
"Lo ga salah? Bukannya lo addict sama cappuchino ya? Kok sekarang malah move ke espresso? Kuat emang lambung lo?" tanya Reza khawatir.
"Gue lagi pengen yang pait. Kali-kali kan gapapa Za."
"Jangan keseringan de, gue ga mau lo sakit apalagi badan lo lagi ga sehat."
"Iya Reza ku yang tampaaaaan" rajukku. Reza hanya menghela nafas dan mulai membolak-balikan menu di tangannya.
"Saya pesan Vanilla latte aja." ujarnya. Kami menunggu pesanan dengan mengobrol hal-hal yang tidak penting. Seperti tanaman di depan rumah kami, goresan di mobil Reza, rambutku yang sudah mulai panjang, hingga akhirnya Reza membahas kejadian seminggu yang lalu..
"Lo beneran ga mau cerita sama gue kenapa lo waktu itu?" tanyanya hati-hati.
"Gue gamau lo marah Za." jawabku setenang mungkin.
"Tapi gimana caranya gue ga marah kalo lo sembunyiin dari gue? Gue lebih gasuka liat lo sedih tanpa gue tau alasannya." Reza menyilangkan tangannya di depan dada dan menatapku tajam. Kebiasaannya kalau menginterogasi seseorang.
"Gue udah ga kenapa-kenapa Za. Bener deh. Gausah dipermasalahin lagi napa."
"Gue gabakal bahas kalo lo ga ngurung terus dikamar seminggu ini. Emang iya lo senyum, ketawa, bersikap kayak biasa, tapi gue ga bisa diboongin Lea. Gue udah kenal lo dari lahir jadi jangan pura-pura depan gue." aku tersentak ia menyebut namaku. Jika Reza sudah seperti itu berarti ia benar-benar serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Do Men Cry?
Teen FictionPerpisahan mana yang tidak memberikan rasa hampa? Setidaknya rasa kehilangan itu pasti terasa tanpa disadari. Azalea baru saja berpisah dengan Alfaro yang pergi melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Ternyata benang merah sudah menyatukannya deng...