Gundukan tanah itu kian lama makin sepi. Orang-orang satu persatu meninggalkan para keluarga yang masih betah diam meratapi kepergian salah satu sanak saudaranya. Begitu pula denganku. Aku masih tidak beranjak dari posisiku walau kakiku sudah pegal dipakai berdiri selama 1 jam. Semua orang yang pergi sempat melirikku perihatin, tapi aku tak perduli. Mereka tak tau bagaimana perasaanku sesungguhnya.
"Lea ayo pulang." mamah mengelus lenganku dan menggenggamnya seakan ingin memberi kekuatan.
"Lea masih pengen disini mah." tolakku halus.
"Gapapa mamah tinggal?"
Aku mengangguk yakin, "Jangan khawatir mah, Lea bisa pulang naik taxi."
"Oke, hati-hati." titah mamah.
Kini para keluarga pun mulai pergi juga. Tante Siska sempat memelukku dan meminta maaf kembali untuk yang kesekian kalinya. Aku tersenyum dan mengatakan bahwa aku tidak apa-apa. Jauh dalam hatiku, aku merasa bahwa merekalah yang lebih pantas untuk diberi penghiburan, bukan aku. Walaupun statusku adalah tunangannya. Ya calon tunangan.
"Lo ga akan pulang?" tanya Ken. Untuk beberapa saat aku kaget mendapati ia tiba-tiba ada disebelahku.
"Gu..gue masih pengen disini."
"Lo baik-baik aja kan?"
"Bakal terdengar lucu kalo gue bilang gue baik baik aja." jawabku sarkatik.
"Tapi lo bahkan ga nangis waktu Raka dikubur. Gue khawatir."
"Bukan berarti gue ga sedih kan?"
"Ya sih, atau jangan jangan ini ada hubungannya lo sama Alfa?"
DEG. Aku melirik Alfa yang terduduk di sebelah nisan Raka dengan tatapan tak terbaca. Tak kupungkiri sedari rumah duka aku tak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Menerka nerka bagaimana takdir mempermainkanku selama ini. Tapi Alfa sama sekali tak memberiku petunjuk dan tak menghiraukan kehadiranku. Benar-benar menyedihkan.
"Apa yang lo tau tentang hubungan gue sama Alfa?" tiba-tiba satu pemikiran muncul tak dapat dicegah. Bagaimana Ken tau aku punya 'sesuatu' dengan Alfa sedangkan aku saja tak pernah bercerita padanya.
"Hm.. ga banyak." Ken terlihat salah tingkah.
"Dan segimana ga banyaknya? Lo nyembunyiin sesuatu?" desakku curiga. Ken mengangkat bahunya dan kembali menatap gundukan tanah itu. Aku mengikuti gerakannya.
"Bukan gue yang berhak ngasih tau lo."
Aku menoleh bingung, "Terus siapa? Raka? Lo gila." umpatku.
"Ga. Dia juga sama sekali ga tau apa yang terjadi dan ga akan gunanya lo nanya sama dia walau dia hidup lagi. Ini sama sekali bukan arena Raka."
"Ma..maksud lo?"
"Ini arena Alfa dan cuma dia yang berhak ngasih tau lo semuanya."
"What-" Aku melirik Alfa dan ternyata ia melihat kearah kami. Bukan. Ia melihat kearahku.
"Sebaiknya lo bicarain ini sama Alfa."
"Ya memang."
"Oke, kalo gitu gue balik dulu. Lo mau bareng gue?"
"Lo duluan aja." ujarku dengan senyum menenangkan.
Ken menepuk bahuku dan pamit walau kulihat matanya menyiratkan kekhawatiran yang besar padaku. Tapi apa boleh buat? Aku memang masih belum ingin beranjak dari sini.
Kini hanya tinggal aku dan Alfa. Hening. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
15 menit kemudian ia bangkit dan berjalan kearahku. Aku menghela napas mencoba tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Do Men Cry?
Teen FictionPerpisahan mana yang tidak memberikan rasa hampa? Setidaknya rasa kehilangan itu pasti terasa tanpa disadari. Azalea baru saja berpisah dengan Alfaro yang pergi melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Ternyata benang merah sudah menyatukannya deng...