Perlahan ku buka mataku dan seketika kurasakan sakit yang menusuk di kepala. Aku menangis semalaman hingga tidak sadar sudah jatuh tertidur. Saat aku mencoba untuk duduk, perutku rasanya perih sekali karena tidak diisi sejak kemarin. Ternyata pengaruh kepergian Alfa sebegitu besarnya bagiku. Kehilangannya membuatku tidak ingin melakukan apapun selain menangis.
Tok tok tok, ketukan di pintu membuatku agak tersentak.
"Le, lo udah bangun? Ini gue Sabila. Gue boleh masuk ya?" teriak Sabila agak keras. Ada nada khawatir di setiap katanya.
"Le ayo dong jangan ngurung diri gitu. Kasian bokap nyokap lo khawatirin lo, Reza juga sampe mohon sama gue supaya lo keluar dan makan. Le...." mohon Sabila. Akhirnya aku bangkit dari kasurku dan berjalan menuju pintu. Saat kubuka, Sabila berdiri dengan membawa baki yang berisi makanan. Dia terlihat terkejut melihat keadaanku yang berantakan.
"Ya ampun Le, muka lo nyeremin gitu. Mata lo bengkak segede batu. Lo nangis semaleman?" tanya nya saat aku baru saja menutup pintu.
"Hmm..."
"Duh gue baru tau seorang Azalea Aprodith Rahardian bisa nangis juga. Kirain gue lo Wonder Woman yang ga bisa nangis." aku menoyor kepalanya karna berkata sembarangan.
"Sialan lo. Gue juga cewek kali." ujarku serak. Sabila berjalan mendekatiku dan meletakkan baki di meja rias. Ia lalu duduk disebelahku dan memelukku.
"Le, gue tau lo bukan cewek cengeng dan gue kaget saat kakak lo nelfon gue dan nyuruh gue dateng kesini. Emang ada apa sih Le?"
Aku menghela nafas dan sudah menduga pasti ditanyai hal seperti ini. Sejak kemarin aku pulang dari 'pertemuanku' dengan Alfa, aku benar-benar tidak keluar kamar. Papah dan Mamah sudah berusaha membujukku keluar tapi tidak berhasil. Reza saja yang biasanya tengil, kemarin ia sampe mohon-mohon agar aku mau membuka pintu. Tapi hasilnya sama saja. Aku benar-benar belum siap untuk keluar dan menemui orang rumah. Aku takut mereka lebih khawatir melihat keadaanku.
"Le kok bengong. Ayo dong cerita" bujuknya,
"Bil, gue putus sama Alfa."
"Hah?! Serius lo?! Kok bisa?!"
"Dia kan mau pergi New York dan dia bilang dia ga mau ngejalanin LDR sama gue. Dia mau fokus belajar." jelasku. Rasanya seperti tertohok kembali mendengar ucapanku mengenai alasan aku dan Alfa berpisah.
"Ya ampun Le, alasannya kok basi banget." cibir Sabila.
"Gue juga gak tau. Tiba-tiba kemaren dia ngajak gue ketemu di cafe biasa, terus dia bilang lebih baik kita udahan aja. Gue ga abis pikir Bil dia bilang gitu dengan muka datar banget. Gue berasa ga kenal sama Alfa. Gue tanya apa kita ga bisa pertahanin dan dia bilang dia ga pengen bawa beban kesana. Plis Bil, gue sakit hati banget dibilang beban buat dia." aku mengeluarkan unek-unek ku dan tidak terasa tetes air mata kembali turun. Sabila menepuk-nepuk pundakku, menenangkan.
"Udah Le ga usah dipikirin. Mungkin dia emang mau fokus disana dan gamau bikin lo lebih sakit karna nunggu dia. Gue rasa dia udah pikirin ini baik-baik. Kalo kalian jodoh, entar juga balik lagi."
"Gue gatau harus apa kalo ketemu lagi sama dia. Gue terlalu sayang sampe gue bingung dengan perasaan gue sendiri. Apa dia juga sedih Bil? Apa dia juga nangis kayak gue? Apa cuma gue aja yang peduli sama hubungan ini?" ujarku sedih.
"Who knows Le? Kalo dia ga nangis gara-gara perpisahan ini setidaknya gue yakin dia pasti kehilangan lo juga. Lo kan udah jadian 3 tahun dan itu bukan waktu yang singkat." aku menghela nafas panjang dan merasa agak sedikit lega. Aku pun membalas pelukan Sabila dan menghapus sisa air mata yang keluar.
Hening lama. Aku pun memutuskan untuk mencoba tersenyum, walau tipis.
"Thanks Bil gue bisa cerita sama lo. Kalo gue cerita ini sama nyokap bokap entar mereka khawatir, dan kalo gue cerita sama Reza gue ga yakin muka Alfa bisa selamat dari tinjunya." kakak satu-satunya ku itu memang terlihat selengean dan jahil, tetapi jika melihat aku menangis pasti langsung mendatangi orangnya dan kalian pasti tau apa yang akan terjadi setelahnya.
"Makanya dia langsung hubungin gue tadi pagi. Udah ah, mending lo makan sekarang daripada maag lo kambuh lagi." ia berjalan mengambil baki makanan dan meletakannya dihadapanku. Aku memakannya perlahan walau rasanya hambar di lidah.
***
Setelah 2 jam Sabila menemaniku, akhirnya aku setuju untuk ikut dia jalan-jalan. Sambil menunggu ku bersiap, Sabila keluar dan turun ke lantai bawah. Saat aku siap, aku mendapati Reza sudah berdiri dengan bersandar di dinding menunggu pintu kamarku terbuka.
"Lo gapapa kan de? Mata lo kayak jengkol gitu." Reza berjalan mendekatiku lalu menangkup kedua pipiku dan melihat intens kedua mataku meminta penjelasan. Aku tersiap kaget.
"Apaan sih ga elit banget disamain sama jengkol. Liat nih gue senyum lebar banget, gue gapapa kali." ucapku menenangkan dan mencoba melepaskan diri.
"Gue khawatir sama lo de. Terakhirnya lo ngurung gitu waktu oma Nancy meninggal. Gue tau kalo lo ga selemah itu dan kalo lo udah ngurung diri berarti masalah lo udah berat." Reza melingkarkan lengannyadi bahuku, memelukku posesif. Ia akan melakukan itu jika ingin menunjukkan kalau dia bisa aku andalkan kapan saja.
"Gue gapapa za, bener deh."
"Bener ya lo gapapa? Gue gak bisa tenang kalo lo cemberut kayak bebek terus." ia melepaskan pelukannya dan mengacak rambutku.
"Jarang banget lo kayak gini, sering sering kek seriusan gini kalo ngomong sama gue." ujarku sambil meninju pelan lengannya.
"Iya iya tuan putri, galak bener. Udah yuk kebawah. Kasian temen lo dianggurin."
"Elo sih pake acara sinetron dulu. Eh btw mamah papah mana?" tanyaku celingukan.
"Mereka ke Jerman tadi subuh. Opa Zayn sakit, makanya langsung ambil penerbangan pertama hari ini."
"Opa sakit? Sakit apa? Kok gue ga dikasih tau?" Opa Zayn adalah opa ku dari papah yang keturunan Jerman. Istrinya -oma Nancy, sudah meninggal 5 tahun yang lalu. Mereka oma dan opa kesayanganku, makanya aku sangat merasa terpukul dengan kepergian oma.
"Lo dari kemaren di kamar ga mau keluar, inget?" tanyanya gemas.
"Oh iya lupa gue."
"Gue juga gatau opa sakit apa, tapi kita doain aja supaya opa cepet sembuh." aku hanya mengangguk mengiyakan.
"Lama bener sih diatas. Gue kering nih nunggu kalian kaga turun-turun." protes Sabila saat kami berdua sampai dihadapannya.
"Biasalah interogasi dulu." jawabku sekenanya diiringi cengiran Reza.
"Enak ya punya kakak care banget. Ga kayak si Varo tuh dirumah, gue jungkir balik aja paling cuma diketawain." Varo adalah kakak Sabila yang emang tengilnya udah level Zeus.
"Hahahaha makanya kursus sama gue supaya jadi kakak yang baik" teriak Reza dari arah dapur.
"Pede lo sampe mau ngajarin orang segala." timpalku.
"Gapapa kali, jarang gue bangga sama diri sendiri." ujarnya. Kami bertiga pun tertawa karnya kekonyolan Reza.
"Eh Za, gue pergi dulu ya. Gue mau jalan sama Sabila. Paling gue pulang agak sorean." kataku mengakhiri derai tawa kami.
"Ya udah hati-hati lo, kalo lo ada apa-apa telfon gue." perintahnya saat gue masuk mobil Sabila.
"Iya bawel." jawabku sekenanya.
to be continue
-----
Author says:
Gatau ini cerita malah ngolor ngidul keluar dari ekspetasi awal 0.0 Subuh buta bikin giniian bikin mata keder juga xD Mudah-mudahan next ga lebih geje dari ini. AMIN~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Do Men Cry?
Teen FictionPerpisahan mana yang tidak memberikan rasa hampa? Setidaknya rasa kehilangan itu pasti terasa tanpa disadari. Azalea baru saja berpisah dengan Alfaro yang pergi melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Ternyata benang merah sudah menyatukannya deng...