Vlacacia {2} : A.J.P

322 33 7
                                    

"Silence means security, silence means approval, watch a zenith on the TV. Tiger run around the tree, follow the leader, run and turn to butter"

Suara kucuran air itu berhenti saat Alfa memutar keran searah jarum jam. Menarik handuk yang tergantung di besi kecil, Alfa lantas mengelap wajahnya yang baru saja dibasuh.

Olahraga basket di sekolah cukup membuat keringat membasahi bajunya, meski lapangan basket itu bersifat indoor, tetap saja hawa panas menjalar di tubuh Alfa.

Sejak Alfa pindah ke Savant International School ini, ia memilih mengikuti ekskul basket. Selain karena tidak ada ekskul lain yang menurutnya menarik, Alfa juga cukup mahir di bidang ini. Ditambah setiap siswa diharuskan mengikuti minimal satu kegiatan ekskul dan tidak ada yang lebih menarik dibanding basket bagi Alfa.

Alfa duduk di dekat loker sambil meneguk hampir setengah botol air mineral berukuran sedang, dahaga sudah menyerangnya sedari tadi. Sambil melipat seragamnya dengan asal, Alfa melihat Eza yang baru duduk disampingnya.

Eza adalah orang pertama yang Alfa kenal, meski pertemuan awal mereka terkesan tidak indah, nyatanya Eza bisa menjadi teman baik untuk Alfa, walau tak jarang obrolan mereka berakhir ngawur dan tidak nyambung.

Tapi hingga detik ini, Eza masih menjadi teman sebangku Alfa di kelas, pun menjadi teman di ekskul basketnya. Masih teringat di benak Alfa saat ia bertemu Eza untuk pertama kalinya.

Saat Alfa hendak masuk toilet, namun ia langsung urung melakukannya saat mendengar seseorang nge-"bom" di dalam toilet sampai terdengar desahan lega. Alfa hanya geleng-geleng, menimang-nimang untuk masuk atau tidak ke dalam tolet mengingat suara ledakan yang baru ia dengar.

Apalagi membayangkan bau yang tercium setelahnya. Ah tidak, lebih baik Alfa menunggu di luar toilet beberapa saat hingga orang itu keluar dan baunya ikut lenyap.

Dan siapa sangka orang itu adalah Eza, temannya yang sedang mesem-mesem disamping Alfa. Kadang sifat Eza ini membuat Alfa heran bahkan bergidik ngeri.

"Mas Ariel," Sapa Eza dengan cengiran bodoh andalannya.

Alfa yang baru menyeletingkan tasnya hanya berdeham menanggapi sapaan cowok itu. Tidak lain dan tidak bukan, pasti Eza sedang ada maunya-setiap hari memang selalu ada maunya-anaknya memang mau-an.

"Gue gak mau jawab kalo lo panggil gue dengan sebutan itu," Sahut Alfa tanpa sama sekali menoleh ke arah Eza, malah dengan santainya Alfa berdiri dan berniat meninggalkan temannya yang berdecak sebal.

Sebegitu bencinya kah Alfa akan sebutan itu? Sehingga ia sampai tidak menghiraukan Eza yang kini berdiri mengikuti Alfa.

"Yaudah iya, iya. Jangan ngambek dong Alfaku sayang!" Rayu Eza sambil merangkul lengan Alfa, persis seperti ibu-ibu kondangan keberatan konde yang bergelayutan pada pasangannya.

Sontak Alfa langsung melepas rangkulan hina itu. Ia masih normal dan tidak mau menjadi bahan pembicaraan di radio dan majalah sekolah tentang dirinya yang diduga tidak normal karena ulah Eza ini.

"Geli, Ez!" Gerutu Alfa. "Mau apa? Pasti gak jauh-jauh dari fotoin jawaban matematika nih?" Alfa mencoba menerka atau lebih tepatnya memastikan. Karena kemungkinan terkaannya itu benar.

"Fa, tau gak?" Panggil Eza seraya menghentikan langkahnya dan dengan bodohnya Alfa ikut berhenti dan menghadap Eza yang memasang tampang serius. "Kamu memang paling bisa mengerti aku!" Bisik Eza setengah mendesah macam cacing kepanasan sambil mecolek dagu Alfa.

Alfa mengerang, lagi-lagi ia terkena jebakan nista dari Eza. Suatu hari Alfa wajib membawa temannya ini ke psikolog. Melihat Eza yang kabur setelah menggodanya, lantas sesuatu terlintas di pikiran Alfa. Mungkin dengan ini, rasa kesalnya pada Eza mereda.

VLACACIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang