"Now I'm wearing this smile that I don't believe in. inside I feel like screaming"
Ribuan rintik air hujan berlomba terjun dari awan kelabu dan menghantam permukaan bumi. Tak banyak yang melakukan aktivitas di luar rumah, sebagian besar mungkin lebih memilih menggulung diri dengan selimut sembari memejamkan mata, rasanya begitu mudah terlelap saat kita di nina-bobokan oleh nada yang mengalun sendu yang berasal dari alam.
Namun tidak bagi Alfa, sore itu ia begitu menikmati permainan basketnya di lapangan kecil di belakang rumah. Tak peduli dengan suasana dingin, ia malah mempersilakan tetesan itu membasahi seluruh tubuhnya. Tangan kanannya dengan kuat men-dribble bola berwarna oranye itu, seolah ada gumpalan emosi yang tertuang dan menjalar dari telapak tangannya. Percikan air yang memantul kala bola bersentuhan dengan lantai lapangan pun ia abaikan.
Hari ini tak ada jam tambahan bersama Vlarena, lagi. Bukan Vlarena yang membatalkan, melainkan Alfa sendiri. Bahkan Alfa tidak mengatakan apapun saat di sekolah tadi, sekadar bilang bahwa hari ini tak ada jam tambahan seperti hari biasanya.
"Oper ke gue, Fa!" teriakan itu lantas membuat Alfa menghentikan pergerakan tangannya. Kepalanya otomatis menoleh pada pintu berukuran besar yang terbuat dari kayu jati. Di ambangnya berdiri seseorang yang tengah merapikan kuncirannya. Otaknya memerintahkan matanya untuk tidak terus menatap sosok itu.
Abaikan!
Abaikan!
Abaikan!
Alfa kembali fokus pada bola basketnya, men-dribblenya dua kali dan melemparnya pada ring yang berjarak dua meter dari tempatnya berdiri. Ia menganggap sosok itu tidak ada, ia mengaggap tak ada siapapun disana, tak ada seorangpun yang memerhatikan pergerakannya. Namun tiba-tiba ia terhenyak saat sosok itu meraih bola oranye yang baru saja lolos dari ring.
"Ngapain sih? Ganggu aja," Alfa hendak merebut bola itu namun Vlarena kelampau gesit, ia membawa bola itu ke dalam pelukannya sehingga membuat Alfa meragu untuk merebut bolanya.
Tak ada yang mulai berbicara, Alfa menunduk sementara Vlarena menatap Alfa intens, sama seperti Alfa, Vlarena membiarkan tetesan hujan membasahi tubuhnya, sesekali matanya berkedip cepat saat tetes kecil itu tanpa permisi mengalir melewati kelopak matanya.
"Kenapa gak ada jam tambahan?" tanya Vlarena penuh kecewa. Saat Vlarena sampai ketiduran di kelas saking lamanya menunggu Alfa. Dan cowok itu tidak kunjung datang. Hampir saja ia terkunci di dalam kelas jika saja penjaga sekolah tak memeriksa keadaan di dalam kelas, dimana masih ada siswi yang duduk di bangku pojok.
"Kalau lo bisa batalin jam tambahan karena alasan sepele, kenapa gue nggak?" Alfa bertanya balik dengan suara yang sama sekali tak menyiratkan emosi. Datar, namun cukup menohok bagi Vlarena.
"Tapi kan gue bilang sama lo sebelumnya, Fa. Sementara lo, ninggalin gue gitu aja. Gue hampir aja dikunciin di dalam kelas tadi," jelas Vlarena panjang lebar. Vlarena masih bersikukuh menatap Alfa, memerhatikan gerak-gerik cowok itu, termasuk saat Alfa mengusap wajahnya dengan kasar, mengusir rintik yang mengenai paras dan mengaburkan pandangannya.
"Yakin bakal bilang? Kalau gue gak manggil lo, kayaknya akan beda cerita ya? Saking senangnya lo waktu itu," balas Alfa semakin ketus. Vlarena hanya bisa diam, sebab apa yang Alfa ucapkan memang ada benarnya.
Entah apa yang sebenarnya mendasari Alfa berlaku demikian, sebegitu kesalnya Alfa pada kejadian yang ia lihat tempo lalu sampai rasa kesal itu masih saja bersarang di benaknya. Masa bodoh dengan bagian dalam dirinya yang bilang dia egois serta kekanakan. Alfa tak bisa menyembunyikan kekesalannya kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
VLACACIA
Teen FictionAlfariel Juro Pradipta, anak baru yang mendadak jadi idola seantero sekolah. Sayang, tak satupun dari siswi-siswi disana yang berhasil menarik perhatiannya yang terbilang sukar untuk diraih. Alfa hanya mau ketenangan. Ya tenang, hingga tragedi memal...