"Someday I'll wish upon a star and wake up where the clouds are far behind me. Where troubles melt like lemon drops away above the chimney tops that's where you'll find me."
"Almost..., almost is never enough," Vlarena bersenandung kala menghitung deretan angka dari contoh soal yang Alfa berikan. Tanpa menghiraukan sumbang atau tidaknya suara yang keluar dari mulutnya, Vlarena terus menirukan suara penyanyi favoritnya itu.
Sesekali Alfa mengalihkan pandangan dari ponselnya saat mendengar suara Vlarena, ingin rasanya menegur meminta Vlarena berhenti berkicau, namun Alfa tak sampai hati. Daripada harus berhadapan dengan Vlarena yang selalu penasaran dan berakhir dengan gadis itu yang bertanya tanpa ujung. Vlarena versi saat ini sedikit lebih baik.
Seperti biasa, di ruang kelas bercat putih ini mereka berada. Tidak ada lagi murid selain Alfa dan Vlarena yang berada di dalamnya. Suara detak jam dinding sesekali terdengar kala keduanya sama-suma bungkam. Vlarena yang hampir muak dengan semua soal yang Alfa berikan, sementara Alfa yang kelewat fokus dengan fitur ponselnya.
"Selesaaai, cek nih Fa! Bener semua deh pasti," ucap Vlarena penuh antusias dan percaya diri. Alfa tak membalasnya, ia langsung menarik buku bersampul cokelat yang tergeletak persis di depan Vlarena dengan lemas, rasa sakit akibat cidera masih terasa namun tak separah kemarin.
Alfa dengan seksama memperhatikan coretan tinta yang Vlarena bubuhkan di atas kertas putih itu. Refleks ia mengangguk pertanda jawaban Vlarena memang tepat. Dan dengan itu senyum Vlarena mengembang. Sedari tadi Vlarena sudah menyerongkan tubuhnya pada Alfa, tak ingin melewatkan momen saat Alfa akan tiba-tiba menautkan alis saat menemukan jawaban yang tidak tepat.
Jarak mereka cukup dekat, namun Vlarena sama sekali tak terlihat canggung. Sangat kontras dengan Alfa yang begitu menyadari jarak wajahnya dan wajah Vlarena terhitung dekat.
"Bener semua," tanggap Alfa yang langsung menggeser buku itu ke tempat semula. Vlarena yang mendengar itu seketika bersorak bangga, setidaknya hari ini ia bisa mengerjakan semua soal yang Alfa berikan dengan benar. Sebab pada dasarnya, Vlarena bukan siswi yang bodoh, hanya saja, waktu yang terganggu yang membuatnya mau tidak mau harus mengejar materi pelajaran yang tertinggal.
"Fa, ada food festival hari ini. Kesana, yuk?" ajak Vlarena dengan ramah seperti biasa. Dengan mata yang membulat serta alisnya yang menggeliat-geliat macam ulat bulu. Alfa yang mendengarnya terlihat menimang-nimang. Kepalanya hendak menggeleng saat suara Vlarena kembali menginterupsi. "Gue gak menerima penolakan ya, Fa. Anggap aja ini bentuk terima kasih gue."
"Ya udah kalau lo maunya gitu," Alfa menarik tasnya dan menyampirkan benda berisi buku-buku itu di bahunya. Alfa berjalan keluar kelas saat Vlarena tengah merapikan buku dengan senyum yang tak pudar dari parasnya. Senang. Itu yang kini Vlarena rasakan.
Sesekali Vlarena memperhatikan kadua kaki Alfa yang bergerak maju saat mereka berdua berjalan menuju parkiran. Alfa berada beberapa langkah di depan Vlarena, cowok itu terus berjalan tanpa menghiraukan Vlarena yang mengekor di belakangnya. Vlarena lagi-lagi sudah terbiasa dan menganggap itu adalah hal sepele.
Alfa mengamati gerakan tangan Vlarena yang menekan tombol pada tape mobil setelah memasang sabuk pengaman. Seolah-olah gadis itu sudah menjadikan semua itu sebagai kebiasaan jika sudah masuk mobil Alfa.
"Lo tau kan alamatnya?" tanya Vlarena seraya melayangkan pandangan pada Alfa yang malah terlihat salah tingkah. Alfa mengangguk mengiyakan, kakinya mulai menginjak pedal gas dan mobil itu melaju pelan keluar dari parkiran.
"Yang di deket taman kota itu kan?" Alfa memastikan. Sekadar mencari bahan obrolan untuk mengusir kecanggungan yang mungkin hanya ia yang merasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
VLACACIA
Novela JuvenilAlfariel Juro Pradipta, anak baru yang mendadak jadi idola seantero sekolah. Sayang, tak satupun dari siswi-siswi disana yang berhasil menarik perhatiannya yang terbilang sukar untuk diraih. Alfa hanya mau ketenangan. Ya tenang, hingga tragedi memal...