"I want you to lead me, take me somewhere. Don't want to live in a dream one more day."
Riuh teriakan mengiringi langkah Vlarena yang mulai gontai. Kedua telapak tangannya sedari tadi sudah menempel di samping kepala, menutupi kedua telinganya seraya melangkah di koridor kelas yang terasa lebih jauh dari biasanya. Muak rasanya mendengar sindiran dari orang-orang yang kini tengah menyambutnya dan siap melemparkan hujatan mereka masing-masing.
Suara-suara itu adalah mimpi buruk bagi Vlarena.
"Gak punya Papa!"
"Anak haram ya?"
"Vlarena anak pungut?"
Pertanyaan itu selamanya tidak akan pernah memiliki jawaban selama Hana—Ibu Vlarena menutup mulut perihal masalah ini, Hana seolah membiarkan Vlarena menerka sendirian yang justru berakhir dengan tersesat saat mencari titik terangnya. Setiap kali Vlarena estafetkan pertanyaan itu pada Hana, wanita itu tidak pernah memberi jawaban pasti.
Hanya senyum yang Vlarena pun tidak tahu apa artinya.
Air mata Vlarena mulai mengaliri pipinya yang memerah tanpa jeda, tidak tahan lagi menerima perlakuan seperti ini.
Aku memang hidup tanpa figur ayah, tapi apa harus aku dikucilkan seperti ini?, Batin Vlarena.
Mereka lupa bahwa Vlarena masih punya hati. Atau mungkin mereka tidak peduli?
Vlarena terus berlari menjauh, nafasnya terengah dan tidak karuan, berlari adalah satu-satunya cara agar suara-suara itu luput dari indera pendengarannya saat itu juga. Vlarena tidak mau lagi mendengar apapun ucapan yang keluar dari mulut mereka.
Sampai seseorang tiba-tiba saja hadir. Dia menarik tangan Vlarena dengan paksa tanpa peduli bagaimana reaksi gadis yang masih terlihat kelimpungan itu. Dia terus membawa Vlarena menjauh dari kerumunan yang nyaris membuat gadis itu gila.
"Kamu siapa?" tanya Vlarena di sela isakan yang mulai mereda. Perempuan yang masih memegangi tangan Vlarena itu hanya menoleh sekilas.
"Lepasin!" jerit Vlarena namun lagi lagi tidak digubris.
Langkahnya terhenti, pun dengan langkah Vlarena. Vlarena mengedarkan pandangan ke segala sisi ruangan. Sepi. Hanya dirinya dan gadis misterius itu. Mereka kini berhadapan satu sama lain. Satu yang Vlarena sadari, wajah itu tidak asing baginya. Bagai refleksi dirinya sendiri.
Vlarena menelisik jauh pada dua bola mata di hadapannya. Kesedihan, hanya itu yang langsung Vlarena rasakan dari sana.
"Tetaplah seperti Acacia!" untuk pertama kalinya Vlarena mendengar suara itu.
"Cinta yang suci, cinta yang tersembunyi, itu kamu."
"Vlarena Acacia."
Suaranya menggema. Masih terdengar jelas meski dia telah berlari menjauh dari tempat Vlarena berdiri, sementara Vlarena hanya bisa termenung menyaksikan kejadian yang sama sekali sulit diterima nalarnya saat ini.
"Acacia."
"Acacia."
Suara itu semakin nyata memanggil Vlarena. Hingga satu tangan mengguncang tubuh Vlarena dan kesadaran gadis itu terkumpul sepenuhnya. Mata Vlarena terbuka dengan gerakan yang terlampau cepat. Terkejut, sampai ia bangun dari posisi tidurnya.
"Vlarena Acacia?" Hana membangunkan Vlarena setelah melihat Vlarena menangis saat sedang tertidur. Kejadian ini bukan satu dua kali saja dialami Vlarena. Mimpi buruk yang terus mengantui anaknya itu sudah tak asing lagi bagi Hana.
KAMU SEDANG MEMBACA
VLACACIA
Teen FictionAlfariel Juro Pradipta, anak baru yang mendadak jadi idola seantero sekolah. Sayang, tak satupun dari siswi-siswi disana yang berhasil menarik perhatiannya yang terbilang sukar untuk diraih. Alfa hanya mau ketenangan. Ya tenang, hingga tragedi memal...