11. Di Ujung Malam
Hujan baru saja reda beberapa menit yang lalu, namun harumnya tanah basah dan kesejukkan malam ditambah dinginnya hujan masih terasa sampai sekarang.
Malam sudah sampai ujungnya namun sepasang manusia dengan rahang mengeras dan amarah yang berada di atas kepala masih berselisih diantara kedua cangkir pualam putih yang berisi teh hangat di atas balkon kamar tidur utama, tempat mereka beristirahat namun tidak untuk malam ini.
"Aku mau kita pisah ranjang."
Untuk kedua kalinya Mandira mengatakan hal itu, belum hilang lelah Attir dari kerjanya tiba-tiba permintaan yang tak akan ia sanggup penuhi keluar dari ujung lidah Mandira dengan sangat lantang.
"Ndira, sebegitunya kah aku tidak boleh memilikimu?" dengan tenang Attir mencoba menjawab tanpa terpancing emosinya.
"Aku mau cerai!" kekeh Mandira, "Sa.....sak..." lanjutnya dengan terbata, ia tahu Attir pasti akan marah.
"Karena Saka?" tanya Attir untuk memastikan, beberapa kali Mandira menghela napasnya yang menerpa gumpalan asap dari cangkirnya.
"Kalau aku nggak menikah sama kamu, Saka gak akan seperti ini! Ak...aku sa..lah.." rasa sesak menemukan pecahnya, tangis Mandira meraung cukup membuat hati Attir teriris.
Akhirnya Attir mengetahui, jika senyum bahagia yang ditampakkan Mandira hanya upaya untuk membuat Attir merasa memilikinya sepenuh jiwa namun Attir tidak dapat menghapus satu fakta, jika ia menikahi seorang wanita yang mencintai orang lain apapun konsekuensinya harus ia telan pahit-pahit.
"Aku tidak akan melarang kamu untuk setidaknya bertemu dengan Saka namun aku mohon jangan berkata seperti itu, itu sangat menyakitkan. Kau tahu?"
Mandira mengangkat lututnya sejajar dengan dadanya saat duduk, matanya fokus pada lutut. Payah. Runtuh sudah pertahanan yang sudah Mandira bentengi dengan susah payah, rasa bersalah menyapanya di lubuk hati yang paling dalam ia disulitkan dengan pilihan yang tak mungkin ia pilih.
Wajah Mandira terangkat menatap wajah Attir, ia tahu pria itu kini dalam rasa kesal yang membuncah itu sangat kentara jelas dari mata Attir yang memerah, kalau boleh dibilang sejak menikah dengan Attir tiba-tiba perasaan ingin memiliki juga dirasa oleh Mandira.
"Kenapa?" tanya Mandira yang refleks membuat Attir mengalihkan pandangannya dari cangkir pulam putih itu.
"Aku sayang sama kamu, aku gak mau egois biar bagaimanapun Saka adalah orang yang sangat berharga untukmu, dia kebahagiaanmu. Dan kamu adalah kebahagiaanku." Attir tersenyum menatap Mandira.
"Istrimu berkhianat! Kamu harus tahu itu, dia tak pernah mencintaimu. Dan kamu masih memebela istrimu? Kamu gila!"
Kembali hujan datang menyapa, mungkin berharap kedatangannya bisa meleburkan semua amarah yang membuncah di antara sepasang manusia.
"Tatap mata aku Ndi! Bilang kalau kamu mencintaiku! Bilang Ndi! Tatap mata aku, tatap!" Attir memegang kuat tangan Mandira, memaksanya untuk menatap kedua bola mata milik Attir. Setiap kata yang dilontarkan Attir penuh dengan penekanan membuat Mandira bergidik ngeri.
"Tatap aku! Bilang kalau kamu mencintaiku, bilang kalau kamu milikku! Katakan Ndira!"
Genggaman tangan Attir semakin keras, berkali-kali Mandira meronta minta dilepaskan namun nihil, kelembutan sikap Attir berubah seketika.
"Tatap aku! Katakan yang tadi aku suruh!"
Perlahan dengan ragu Mandira menatap mata milik Attir yang kini memancarkan aura marah bak kesetanan. Sementara tangannya masih bersusah payah mencoba melepaskan genggaman tangan Attir.
"Kamu gak akan pernah mendapatkan itu.. Arrgghhh" ucapan Mandira diakhiri dengan lolongan bak serigala tak peduli apa kata tentangga nantinya, ia benar-benar terluka karena perkataannya sendiri. Lebih sakit daripada tangannya yang dihempaskan keudara secara kasar oleh Attir.
Dengan cepat langkah Attir berlalu meninggalkan Mandira terduduk sendiri di malam yang dingin ini. Entah kemana Attir akan pergi, entah apa yang akan di lakukan Attir, entah, entah, entah. Niat ingin tak peduli namun pikirannya mematikan Mandira saat itu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatukrama
ЧиклитDialah, Saka. Yang membuat Mandira, seorang manager disalah satu perusahaan ternama harus menanggalkan jabatannya dan beralih menjadi seorang suster di Rumah sakit jiwa. Dialah, Saka. Yang membuat Mandira harus menjauhi suaminya sendiri. Dialah, Man...