2. Resah

14.4K 1.6K 9
                                    

2. Resah

Satu per satu Mandira men-checklist setiap pekerjaan yang telah ia kerjakan di buku note pemberian Saka. Kejadian beberapa hari yang lalu telah ia balut habis-habisan, ia tak mau terus-terusan merasakan sakitnya penindasan yang tak pernah kenal aral.

Handphone di meja kerjanya bergetar, sebuah pesan dari Attir terpampang disana.

"Ayah sakit," begitu katanya, kembali Mandira menundukan kepalanya, mengatur napasnya sekaligus air matanya.

"Ndi, lo gak apa-apa?" Acha, teman Mandira menepuk bahu Mandira pelan, memastikan temannya baik-baik saja, sebelum Mandira menjawab arah pandangan Acha melihat tumpukkan kertas yang menggunung di meja kerja Mandira.

"Kerja tuh jangan di forsir dong, inget badan makin lama makin kurus."

Mandira bernapas lega karena ia tak perlu susah payah menjelaskan sebab kepada Acha.

"Gue butuh pulang," ucap Mandira sambil memakai kembali kacamata yang tadi ia taruh di dekat laptopnya.

"Ya pulang lah, ngapain izin-izinan segala." kata Acha sambil tertawa pelan.

Jatukrama—

Mandira datang dengan tergesa-gesa, wajahnya pucat, entah kenyataan pahit apalagi yang akan ia terima. Tak henti-hentinya semesta memberi ganjaran padanya atas kesalahan yang tak pernah ia perbuat.

Langkahnya melambat, pandangannya tak lagi lurus ketika mendapati sosok
Attir dengan beberapa pengawalan polisi, sebegitu jahatnya kah Ayahnya? Bahkan ketika sakit pun tetap mendapat pengawalan dari polisi.

"Bagaimana?" tanya Mandira pada Attir.

"Asam lambungnya naik, seperti biasa." jawab Attir seadanya seraya mempersilakan Mandira duduk di sampingnya.

Bola mata Attir dan Mandira bertemu pada titik yang sama, dari situ Attir dapat melihat banyak sekali kegundahan yang Mandira rasakan. Dalam diam Attir tersadar akan bola mata Mandira yang kini sudah hilang dari pandangannya mengalihkannya ke para polisi yang sedang berjaga.

"Peraturan hukum, Ndi." sebelum Mandira bertanya, Attir terlebih dahulu sudah menjawabnya.

Mandira mengangguk pelan, sebelum akhirnya keheningan berbuntut panjang.

"Keluarga pak Ibrahim di persilahkan untuk menjenguk." suara suster memecahkan keheningan yang tercipta antara Attir dan Mandira, dengan langkah penuh yakin sambil sedikit memberi senyum pada Polisi itu Mandira melangkahkan kakinya ke ruang rawat ayahnya yang berada di kelas tiga rumah sakit ini.

"Ruang vvip rasanya lebih layak untuk Ayah, Mas Attir." gumam Mandira pelan karena takut menganggu istirahat Ayahnya.

Attir menggeleng lemah memberi tanda tidak, status Tuan Ibrahim, Ayah Mandira, sebagai seorang tahanan membatasi Mandira untuk memberikan perawatan yang lebih baik untuknya.

Perlahan Tuan Ibrahim membuka matanya menyesuaikam cahaya lampu ruangan ditambah cahaya matahari pukul dua siang yang kali ini lebih terik dari biasanya.

"Ndira." panggil Tuan Ibrahim dengan lembut, matanya langsung tertuju pada Mandira memperhatikan setiap inchi dari wajah, tubuh Mandira yang terlihat lebih kurus dari biasanya, putrinya terlalu banyak memikirkan tentang kasus Ayahnya ketimbang memperhatikan tubuhnya sendiri.

"Ya, Ayah?"

Rasanya Mandira ingin menangis, memeluk Ayahnya lamat-lamat, menceritakan keluh kesahnya hidup dipangkuan Ayahnya namun semuanya harus ia benamkan, ia tahu untuk sekarang Ayah nya lebih butuh dukungan dari putrinya bukan tangisan atau apapun yang membuat Tuan Ibrahim senang, akan Mandira lakukan, sekarang.

JatukramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang