17. Biru

7.6K 931 18
                                    

17. Biru

Mandira menatap kosong bangku pesakitan yang kini di duduki ayahnya, suaminya tak kenal lelah berbicara di depan mengutarakan pembelaan yang diam-diam menimbulkan banyak tanya dalam hati Mandira. Sungguh, Mandira butuh sekali jawaban entah dari siapapun itu.

Seseorang perempuan di sampingnya berkali-kali menepuk pelan bahu Mandira,
"Ibu tahu nak, ibu tahu dari awal. Ayahmu selalu bercerita jika bosnya sangat sayang padanya sampai suatu ketika ayahmu ditawari untuk memegang anak perusahaan. Layaknya kucing yang dapat ikan tentu kucing lainnya ingin juga.

"Ada yang ingin ayahmu jatuh nak, ada. Itu sebab mengapa ayahmu berada di sini sekarang. Ia dipecat, kepercayaannya hilang bahkan harus mendekam di penjara. Ibu ataupun kamu tahu betul Ayahmu, sesusah-susahnya hidup kita, meski jarang makan kita. Ia tidak akan memberikan rejeki yang tak halal untuk Ibu, untuk kamu, darah dagingnya."

Mandira menghela napasnya, berat, sakit sekali rasanya.

"Dan sialnya adalah mantan calon mertuamu yang melakukan itu nak, ibu pun tidak percaya. Tapi, inilah yang kita lihat dan dengar sekarang. Kamu tahu? Mengapa Ibu Saka tidak merestui kamu? Sebab ia tidak ingin Saka denganmu, ia ingin Saka dengan wanita lain sebab keluarganya menjanjikan korupsi yang dilakukan Ayah Saka tak akan tercium."

Nyonya Kinar menggenggam tangan putrinya lembut, "Ibu tahu Saka sangat cinta sama kamu, ibu tahu itu nak. Bisa kau buktikan dengan mendekamnya ia di rumah sakit jiwa karena melihatmu bersanding dengan yang lain. Jangan salahkan dirimu nak sebab kau berhak merasa begitu. Dan sekarang, suamimu, Attir. Berdiri di depan sana dengan berhasil membebaskan Ayahmu, hidupmu. Ia bersusah payah untuk itu nak, hargai dia sepantasnya kau menghargai orangtuamu, perlakukan dia sebagai seorang suami nak. Karena, lakumu adalah lukamu."

Runtuh sudah bangunan kokoh yang Mandira punya, ia menangis sedikit meraung sambil memeluk Ibunya. Sungguh kenyataan ini tak pernah sedikitpun terlintas di benaknya. Saka, bagaimanapun cintanya terhadap lelaki itu masih mekar dihatinya. Dan Attir hanyalah kuncup bunga yang entah kapan waktunya akan bersemai mekar dihati Mandira.

Lagi, untuk kesekian kalinya Mandira menghela napas panjangnya. Ia memejamkan matanya, meresapi semuanya. Tuhan, walau tak semua harap terpenuhi, kumohon iklaskan hati untuk membiarkan apa yang memang seharusnya pergi, katanya dalam hati.

JatukramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang