4. Berdua Saja
Malam kian meninggi ketika sepasang manusia sedang menanti datangnya fajar, berharap nasib baik akan ia temui esok hari. Meski rasanya tidur lebih baik ketimbang menanti pergerakan jam yang di rasa malah semakin lambat dari sebelumnya.
Dari atas apartemen milik Saka, Mandira dan Saka dapat melihat cahaya bulan yang tak dapat menerangi gelapnya malam, lampu-lampu kota sudah dinyalakan sejak pukul lima sore tadi namun rasanya tetap sama, malam-malam yang dilalui terasa begitu menakutkan terlebih lagi dengan tebakan-tebakan nasib esok hari yang tak mereka ketahui.
"Apa mimpimu?" Mandira menatap Saka dalam-dalam sebelum akhirnya Saka menatap balik dirinya dengan senyumnya.
"Masih sama, seperti dahulu. Membuat orang di sekitarku bahagia." ungkap Saka dengan mengalihkan pandangannya menatap lurus ke arah selatan kota. "Apa mimpimu?" Lanjut Saka.
"Mimpimu membuat orang bahagia? Kau tau? Membuat orang terluka lebih mudah ketimbang membuatnya bahagia." kata Mandira tanpa menjawab pertanyaan Saka, rasanya ada yang janggal dengan ucapan Saka meski ragu akhirnya Mandira pun mengatakan hal itu.
"Kalau ada pelangi setelah hujan, ada pula kebahagiaan setelah terluka. Tidak apa karena memang seperti itu kan prosesnya?" jawab Saka dengan tenang, setenang angin malam yang berhembus pukul dua dini hari ini.
Mandira mengangguk, "Kadang kita harus berkenalan dengan luka sebelum akhirnya menemui kebahagiaan."
Saka menarik pinggang Mandira agar lebih dekat dengan dekapannya, menghapuskan jarak diantara mereka berdua.
"Kamu benar." kata Saka, sebuah ciuman mampir di kening Mandira menghapuskan kata serta prasangka yang ada di kepala.
"Kalau mimpimu membuat orang sekitar bahagia, biar aku tunjukkan bahwa aku adalah orang yang berhasil dibahagiaan olehmu."
"Jika bahagiamu bukan bersamaku lagi, bagaimana?" Bum! Pertanyaan gila tiba-tiba saja terlintas di benak Saka dan di lontarkannya penuh hati-hati meski begitu perasaan Mandira menjadi tak tenang. Sekeras mungkin ia menstabilkan emosinya, berusaha tak terpancing sehingga tak mengeluarkan air matanya.
"Ya, kalau bahagiamu juga bukan bersamaku, mungkin kebahagiaan yang lain akan menanti kita." dengan tenang Mandira menjawabnya padahal air mukanya pucat.
Kembali, diam selalu menjadi penengah di antara suasana yang mulai panas. Malam selalu menjadi saksi dari banyaknya kata yang tak terucap. Deru angin membisingkan telinga, dinginnya kembali menusuk tulang.
Tak terasa, kebisuan yang ada menghantarkan Mandira dan Saka pada fajar, kacamata yang digunakan Mandira sedikit buram karena terkena embun pagi. Meski menghabiskan malam hanya diam selama ada Saka di dekatnya, Mandira sangat senang. Tak ada kebahagiaan yang lebih selain menghabiskan waktu berdua saja dengan dia, kebahagiaanmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatukrama
ChickLitDialah, Saka. Yang membuat Mandira, seorang manager disalah satu perusahaan ternama harus menanggalkan jabatannya dan beralih menjadi seorang suster di Rumah sakit jiwa. Dialah, Saka. Yang membuat Mandira harus menjauhi suaminya sendiri. Dialah, Man...