12. Menuju Senja

8K 871 1
                                    

12. Menuju Senja

Mandira terbangun saat cahaya matahari menelusup dari jendela kamarnya, padahal seingat ia malam tadi ia masih berusaha untuk tidak memejamkan matanya di bangku balkon kamarnya kalaupun ia tidur, pastilah ia tertidur disana bukan disini, ranjangnya.

Matanya menyapu seisi ruangan tak ia ketemukan dimana Attir. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi dan hal ini membuat Mandira membolos kerja padahal rasanya ia ingin berpamitan langsung pada boss dan teman kantornya namun hal yang tak ia duga datang dengan tiba-tiba, sehingga Mandira hanya menitipkan surat pengunduran dirinya pada Acha.

Tangan Mandira meraih handphonenya, membaca pesan yang masuk.

"Selamat pagi dan maaf."

Dari Attir, begitu isi pesannya. Senyum kecil memenuhi sudut bibir Mandira, ia senang mendapatkan kabar dari Attir setidaknya rasa khawatir, bingungnya sedikit menghilang. Mandira tahu Attir sangat memperhatikannya sampai-sampai sarapan sudah tersedia di meja rias miliknya berserta dengan teh hangat, atau bahkan mungkin juga Attir yang membawa Mandira ke ranjangnya.

—Jatukrama—

Kaki Mandira mulai melambat saat matanya mendapati sosok pria yang sedang tertidur namun sangat ia yakini jika pria itu tidak pernah tertidur nyenyak, selalu ada saja yang menjadi gangguannya.

Matanya beralih menatap kumpulan nasi serta pecahan piring yang dibiarkan berserakan di lantai, Saka belum makan, tebaknya dalam hati. Perlahan dengan pasti kaki Mandira mendekati tempat tidur yang ditiduri Saka, pria itu kini jelas dipandangnya. Hati Mandira mencelos, ia tak bisa menerima kenyataan jika pria yang dicintanya kini merasakan sakit yang betul-betul karena ulahnya.

Berdiam diri selama beberapa detik sebelum Saka terbangun Mandira terlebih dahulu meninggalkan ruangan itu, ia tak bisa lama-lama di sini. Esok hari masih menantinya dan Mandira berjanji akan kesini lagi.

—Jatukrama—

Biasanya akan selalu ada Saka di belakang Mandira untuk saling menjaga, namun lain halnya dengan sekarang. Mandira duduk di atas bebatuan memandang arah mata angin lurus, menyaksikan persembahan lukisan Tuhan pada pukul lima sampai enam sore, senja namanya.

Berkali-kali angin berhembus menerpa kulitnya, Mandira menguatkan cengkramannya pada jaket yang ia kenakan, langit tak hujan namun entah mengapa dinginya sampai ke tulang. Kali ini senja menampakkan dirinya berwarna merah jambu meski sedikit tertutup awan hitam kelabu tak apa Mandira tetap senang dan tenang melihatnya.

Mandira tahu senja bukan alat hitung, kapan ia akan di pertemukan, bukan juga pengingat tentang luka, duka dan haru, bukan juga catatan yang kau catat doa-doa dalam senja sebelum akhirnya senja menghilang.

Kau hanya perlu menikmatinya dan kau akan mendapatkan tenang.

JatukramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang