#10

251 44 0
                                    

Eve

"Aku takut, Li." Aku mengeratkan pegangan tanganku pada leher kakakku. Malam ini aku bermimpi buruk. Aku baru saja terbangun dengan napas terengah sambil berteriak. Karena teriakanku itulah Liam menghampiriku dengan tergesa dan wajah paniknya.

"Sshhh. Tenanglah. Semua baik-baik saja. Kau aman." Ucap Liam seraya telapak tangannya membuat gerakan naik turun di punggungku untuk menenangkanku.

"Mereka mengejarku. Hantu-hantu itu menyeramkan." Aku memejamkan mataku berusaha dengan keras untuk menghilangkan gambaran mimpi itu. Salah satu tangan Liam mengusap lembut kepalaku dan itu sangat menenangkanku.

"Mereka sudah pergi. Aku ada bersamamu. Jangan khawatir. Kembalilah tidur. Aku akan menemanimu." Selesai mengucapkan kalimat itu, aku melepas pelukanku. Liam memberikan tatapan meyakinkannya padaku dan ku balas dengan senyuman lebar khas anak berusia 8 tahun.

Kakakku disini. Jadi aku tidak perlu takut atau cemas. Hantu-hantu itu tidak akan mengangguku karena ada Liam di sisiku.

Hantu. Satu kata itu cukup membuatku bergidik ngeri. Aku tidak tahu seperti apa rupa hantu yang sebenarnya. Satu hal yang ku tahu tentang hal semacam itu adalah ketika seseorang sudah mati dan rohnya keluar dari tubuhnya, maka dia di sebut hantu. Lalu bagaimana denganku dan Niall? Apakah kami disebut hantu? Tapi kami belum mati. Atau kami sedang berada di ujung kematian? Entahlah, aku tidak tahu.

Niall terlihat tidak suka dengan satu kata itu. Terlihat jelas dari raut wajahnya yang agak kesal tapi ia berusaha sebisa mungkin untuk menutupinya.

"Hentikan cerita hantu konyolmu itu, gadis aneh! Hantu adalah roh orang mati. Dan Niall.Horan.Belum.Mati!"

Seketika saja aku kembali teringat dengan kalimat penuh penekanan dari Niall -maksudku, Niall yang bersikap dingin itu. Pantaslah tadi dia bilang bahwa dirinya bukan hantu. Aku sudah pernah diperingatkan olehnya bahwa dia belum mati.

Jennifer membulatkan kedua matanya melihat kedatangan Niall yang secara tiba-tiba itu. Tatapannya menunjukkan suatu ketidak percayaan dengan apa yang dia lihat. Aku sangat yakin Jennifer pasti semakin bingung dengan keadaan ini. Sama sepertiku.

"Apa kau bisa berwujud menjadi manusia? Bagaimana kau melakukannya? Dan kenapa sikapmu sangatlah berbeda?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku. Hal itu membuat Jennifer mengalihkan perhatiannya dari Niall ke arahku. Tatapanku masih jatuh kepada Niall yang sedang menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya dan bersender pada dinding pembatas.

"Jika kau cukup pintar..." Niall memotong kalimatnya dan mulai berjalan menuju ke arahku dan Jennifer. "Kau tak akan bertanya seperti itu." Lanjutnya. Dari nada berbicaranya, itu terdengar seperti ledekan bagiku. Sebuah senyum merendahkan yang dibuat-buat terpampang jelas di wajah tampannya dan itu membuatku menyatukan alisku.

"Aku tidak sedang bercanda, Horan." Aku memberikan tatapan keseriusan kepadanya. Niall terkekeh dan langkahnya terhenti.

"Baiklah. Baiklah. Pertama, bicaralah dengan sopan. Aku seniormu. Ingat itu. Kedua, aku tahu kalian bingung tapi jangan pernah mengambil kesimpulan sendiri sebelum kalian mencari tahu kebenarannya. Dan ketiga, aku tidak bisa melakukan hal yang kau tanyakan, Eve. Karena jika aku saja bisa melakukannya, kau pasti juga akan melakukan hal serupa sejak kemarin." Ungkapnya.

Aku membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, tetapi suara ponsel menginterupsiku dan aku mengurungkan niatku. Jennifer mengambil IPhone dari sakunya. Dahinya sedikit berkerut ketika membaca sesuatu dari layar ponselnya. Dia mengisyaratkan untukku menunggu karena dia ingin menjawab telepon. Aku hanya mengangguk sebagai tanda setuju.

Be Mine (Sedang Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang